Senin, 14 Maret 2011

Teori-Teori Dalam Kriminologi


Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan. Nama kriminologi yang ditemukan oleh P. Tonipard (1830-1911) seorang ahli antropologi Perancis, secara harfiah berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat. (Toto Santoso, Achyani Zulfa, 2002: 9).
Kriminologi lahir dan kemudian berkembang menduduki posisi yang penting sebagai salah satu ilmu pengetahuan yang interdisiplin dan semakin menarik, bergerak dalam dua “roda besar” yang terus berputar dalam perubahan pola-pola kriminalitas sebagai fenomena sosial yang senantiasa dipengaruhi oleh kecepatan perubahan sosial dan teknologi. Roda-roda yang bergerak itu adalah penelitian kriminologi dan teori-teori kriminologi.(Soedjono Dirdjosisworo, 1994: 107).
Ada beberapa penggolongan teori dalam kriminologi antara lain(Soedjono Dirdjosisworo, 1994: 108-143) :
1.    Teori Asosiasi Diferensial (Differential Association Theory)
Sutherland  menghipotesakan bahwa perilaku kriminal itu dipelajari melalui asosiasi yang dilakukan dengan mereka yang melanggar norma-norma masyarakat termasuk norma hukum. Proses mempelajari tadi meliputi tidak hanya teknik kejahatan sesungguhnya, namun juga motif, dorongan, sikap dan rasionalisasi yang nyaman yang memuaskan bagi dilakukannya perbuatan-perbuatan anti sosial.
Theori asosiasi differensial Sutherland mengenai kejahatan menegaskan bahwa :
a.    Perilaku kriminal seperti halnya perilaku lainnya, dipelajari.
b.    Perilaku kriminal dipelajari dalam hubungan interaksi dengan orang lain melalui suatu proses komunikasi.
c.    Bagian penting dari mempelajari perilaku kriminal terjadi dalam pergaulan intim dengan mereka yang melakukan kejahatan, yang berarti dalam relasi langsung di tengah pergaulan.
d.    Mempelajari perilaku kriminal, termasuk didalamnya teknik melakukan kejahatan dan motivasi/ dorongan atau alasan pembenar.
e.    Dorongan tertentu ini dipelajari melalui penghayatan atas peraturan perundang-undangan; menyukai atau tidak menyukai.
f.     Seseorang menjadi deliquent karena penghayatannya terhadap peraturan perundangan lebih suka melanggar daripada mentaatinya.
g.    Asosiasi diferensial ini bervariasi tergantung dari frekuensi, durasi, prioritas dan intensitas.
h.    Proses mempelajari perilaku kriminal melalui pergaulan dengan pola kriminal dan anti kriminal melibatkan semua mekanisme yang berlaku dalam setiap proses belajar.
i.      Sekalipun perilaku kriminal merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai, akan tetapi tingkah laku kriminal  tersebut tidak dapat dijelaskan melalui kebutuhan umum dan nilai-nilai tadi, oleh karena perilaku non kriminal pun merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai yang sama.
2.    Teori Tegang (Strain Theory)
Teori ini beranggapan bahwa manusia pada dasarnya makhluk yang selalu memperkosa hukum atau melanggar hukum, norma-norma dan peraturan-peraturan setelah terputusnya antara tujuan dan cara mencapainya menjadi demikian besar sehingga baginya satu-satunya cara untuk mencapai tujuan ini adalah melalui saluran yang tidak legal. Akibatnya, teori “tegas” memandang manusia dengan sinar atau cahanya optimis. Dengan kata lain, manusia itu pada dasarnya baik, karena kondisi sosiallah yang menciptakan tekanan atau stress, ketegangan dan akhirnya kejahatan.
3.    Teori Kontrol Sosial (Social Control Theory)
Landasan berpikir teori ini adalah tidak melihat individu sebagai orang yang secara intriksik patuh pada hukum, namun menganut segi pandangan antitesis di mana orang harus belajar untuk tidak melakukan tindak pidana. Mengingat bahwa kita semua dilahirkan dengan kecenderungan alami untuk melanggar peraturan-peraturan di dalam masyarakat, delinkuen di pandang oleh para teoretisi kontrol sosial sebagai konsekuensi logis kegagalan seseorang untuk mengembangkan larangan-larangan ke dalam terhadap perilaku melanggar hukum.
Terdapat empat unsur kunci dalam teori kontrol sosial mengenai perilaku kriminal menurut Hirschi (1969), yang meliputi :
a.    Kasih Sayang
Kasih sayang ini meliputi kekuatan suatu ikatan yang ada antara individu dan saluran primer sosialisasi, seperti orang tua, guru dan para pemimpin masyarakat. Akibatnya, itu merupakan ukuran tingkat terhadap mana orang-orang yang patuh pada hukum bertindak sebagai sumber kekuatan positif bagi individu.
b. Komitmen
Sehubungan dengan komitmen ini, kita melihat investasi dalam suasana konvensional dan pertimbangan bagi tujuan-tujuan untuk hari depan yang bertentangan dengan gaya hidup delinkuensi.
c. Keterlibatan
Keterlibatan, yang merupakan ukuran kecenderungan seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan konvensional mengarahkan individu kepada keberhasilan yang dihargai masyarakat.
a.    Kepercayaan
Akhirnya kepercayaan memerlukan diterimanya keabsahan moral norma-norma sosial serta mencerminkan kekuatan sikap konvensional seseorang. Keempat unsur ini sangat mempengaruhi ikatan sosial antara seorang individu dengan lingkungan masyarakatnya.
4.    Teori Label (Labeling Theory)
Landasan berpikir dari teori ini diartikan dari segi pandangan pemberian norma, yaitu bahwa sebab utama kejahatan dapat dijumpai dalam pemberian nama atau pemberian label oleh masyarakat untuk mengidentifikasi anggota-anggota tertentu pada masyarakatnya. (Gibbs dan Erickson, 1975; Plummer 1979; Schur 1971).
Terdapat banyak cara dimana pemberian label itu dapat menentukan batas bersama dengan perilaku kriminal telah dijadikan teori, misalnya bahwa pemberian label memberikan pengaruh melalui perkermbangan imajinasi sendiri yang negatif. Menurut teori label ini maka cap atau merek yang dilekatkan oleh penguasa sosial terhadap warga masyarakat tertentu lewat aturan dan undang-undang sebenarnya berakibat panjang yaitu yang di cap tersebut akan berperilaku seperti cap yang melekat itu. jadi sikap mencap orang dengan predikat jahat adalah kriminogen.
5. Teori Psikoanalitik (Psyco Analytic Theory)
Menurut Sigmund Freud, penemu psikonanalisa, hanya sedikit berbicara tentang orang-orang kriminal. Ini dikarenakan perhatian Freud hanya tertuju pada neurosis dan faktor-faktor di luar kesadaran yang tergolong kedalam struktur yang lebih umum mengenai tipe-tipe ketidakberesan atau penyakit seperti ini. Seperti yang dinyatakan oleh Alexander dan Staub (1931), kriminalitas merupakan bagian sifat manusia. Dengan demikian, dari segi pandangan psikoanalitik, perbedaan primer antara kriminal dan bukan kriminal adalah bahwa non kriminal ini telah belajar mengontrol dan menghaluskan dorongan-dorongan dan perasaan anti-sosialnya.
1.    Teori Rancangan Pathologis (Pathological Simulation Seeking)
Menurut Herbert C. Quay (1965) mengemukakan teori kriminalitas yang didasarkan pada observasi bahwa banyak kejahatan yang nampak memberikan seseorang perasaan gempar dan getaran hati atau sensasi. Kriminalitas merupakan manifestasi “banyak sekali kebutuhan bagi peningkatan atau perubahan-perubahan dalam pola stimulasi si pelaku”. Abnormalitas primer oleh karenanya dianggap sebagai sesuatu yang terletak dalam respon psikologis seseorang pada masukan indera. Berarti perilaku kriminal merupakan salah satu respon psikologis sebagai salah satu alternatif perbuatan yang harus ditempuh. Lebih spesifik lagi telah dihipotesakan bahwa para kriminal memiliki sistem urat syarat yang hiporeaktif terhadap rangsangan.
Beberapa bahasan dari teori rangsangan pathologis yang perlu mendapat perhatian :
a.    Kriminal dilakukan dengan sistem urat syarat yang diporeaktif dan otak yang kurang memberi respon, keadaan demkian tidak terjadi dalam vakum, melainkan berinteraksi dengan tujuan tempat tinggal tertentu dimana individu hidup dalam pergaulan.
b.    Anak-anak pradelinkuen cenderung membiasakan diri terhadap hukuman yang diterimanya dan rangsangan ini dengan mudah menambah frustasi dikalangan orang tua. Pola ini kemudian bergerak dalam lingkungan interaksi negatif “orang tua dan anak” yang pada gilirannya membentuk remaja dan orang dewasa yang bersifat bermusuhan, memendam rasa benci dan anti sosial. Kecenderungan mencuri rangsangan pathologis ini merupakan bagian dari gambaran kriminal.
c.    Interaksi orang-orang keadaan meliputi hipotesa :
1)    Bahwa respon parental yang negatif dan tidak konsisten terhadap perilaku mencari rangsangan atau stimuli sang anak, merupakan daya etiologis dalam perkembangan kecenderungan-kecenderungan kriminalitas selanjutnya.
2)    Bahwa abnormalitas psikologis sang anak akan menyulitkan baginya mangantisapasi konsekuensi yang menyakitkan atas perbuatannya.
Kedua faktor di atas merupakan faktor yang memberi kontribusi kepada siklus yang merugikan dalam interkasi orang tua anak yang bersifat negatif yang pada gilirannya berkulminasi pada pola kriminalitas berat. Christopher Mehew dalam penelitiannya mengenai kriminal dan prikologis menemukan adanya pengaruh kejiwaan terhadap perilaku jahat yang disimpulkan sebagai tingkat kedewasaan yang terhambat (emotional-immaturity) dan ternyata kondisi ini dipengaruhi  oleh masalah-masalah keluarga yaitu disharmonie home dan broken home.

2.    Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory)
Landasan berpikir teori ini menitikberatkan pada utilitas atau pemanfaatan yang diantisipasi mengenai taat pada hukum lawan perilaku melawan hukum. Pendukung semula teori pilihan rasional, Gary Becker (1968) menegaskan bahwa akibat pidana merupakan fungsi, pilihan-pilihan langsung serta keputusan-keputusan yang dibuat relatif oleh para pelaku tindak pidana bagi yang terdapat baginya. Pilihan rasional berarti pertimbangan-pertimbangan yang rasional dalam menentukan pilihan perilaku yang kriminal atau non kriminal, dengan kesadaran bahwa ada ancaman pidana apabila perbuatannya yang kriminal diketahui dan dirinya diprotes dalam peradilan pidana. Apabila demikian seolah-olah semua perilaku kriminal adalah keputusan rasional.

A.   Teori-Teori Sebab Terjadinya Perilaku Jahat

Perilaku jahat anak merupakan gejala penyimpangan dan patologis secara sosial itu juga dapat dikelompokkan dlam satu kelas defektif secara sosial, dan mempunyai sebab-musabab yang majemuk, jadi sifatnya multi-kausal.
Ada beberapa penggolongan teori mengenai sebab terjadinya perilaku jahat meliputi : (Kartini Kartono, 1985: 25-35).
1.    Teori biologis
2.    Teori psikogenesis (psikologis dan psikiatris)
3.    Teori sosiogenesis
4.    Teori subkultural

Ad.1.1. Teori Biologis
Tingkah laku sosiopatik atau delikuen pada anak-anak dan remaja dapat muncul karena faktor-faktor fisiologis dan struktur jasmaniah seseorang, juga dapat oleh cacat jasmani yang dibawa sejak lahir. Kejadian ini berlangsung :
a.    Melalui gen atau plasma pembawa sifat dan keturunan, atau melalui kombinasi gen, dapat juga disebabkan oleh tidak adanya gen tertentu, yang semuanya bisa memunculkan penyimpangan tingkah laku, dan anak-anak menjadi delikuen secara potensial.
b.    Melalui pewarisan tipe-tipe kecenderungan yang luar biasa (abnormal), sehingga membuahkan tingkah laku delikuen.
c.    Melalui pewarisan kelemahan konstitusi anal jasmaniah tertentu yang menimbulkan tingkah laku delikuen atau sosiopatik. Misalnya cacat bawaan brachy-dactylisme (berjari-jari pendek) dan diabetes insipidus (sejenis penyakit gula) itu erat berkorelasi dengan sifat-sifat kriminal serta penyakit mental.
Ad.1.2. Teori Psikogenesis
Teori ini  menekankan sebab-sebab tingkah laku delikuen anak-anak dari aspek psikologis atau isi kejiwaannya. Antara lain faktor intelegensi, ciri kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi, rasionalisasi, internalisasi diri yang keliru, konflik batin, emosi yang kontroversal, kecenderungan psikopatologis, dll. Kurang lebih 90 % dari jumlah anak-anak berperilaku jahat berasal dari kalangan keluarga berantakan (broken home). Kondisi keluarga yang tidak bahagian dan tidak beruntung, jelas membuahkan masalah psikologis personal dan adjusment (penyesuaian diri) yang terganggu pada diri anak, sehingga mereka mencari kompensasi di luar lingkungan keluarga guna memecahkan kesulitan batinnya dalam bentuk perilaku jahat. Ringkasnya, perilaku jahat anak-anak merupakan reaksi terhadap masalah psikis anak-anak itu sendiri.
Ad.1.3. Teori Sosiogenesis
Landasan berpikir teori ini menyatakan bahwa penyebab tingkah laku jahat pada anak-anak adalah murni sosiologis atau sosial-psikologis sifatnya. Misalnya disebabkan oleh pengaruh struktur sosial yang deviatif, tekanan kelompok, peranan sosial, status sosial atau internalisasi simbolis yang keliru. Jadi sebab-sebab perilaku jahat itu tidak hanya terletak pada lingkungan familial dan tetangga saja, akan tetapi terutama sekali, disebabkan oleh konteks kulturalnya. Maka perilaku jahat anak-anak itu jelas di pupuk oleh lingkungan sekitar yang buruk dan jahat, ditambah kondisi sekolah yang kurang menarik bagi anak-anak bahkan adakalanya justru merugikan perkembangan pribadi anak. Karena itu, konsep-kunci untuk dapat memahami sebab-sebab terjadinya kejahatan anak itu ialah pergaulan dengan anak-anak muda lainnya yang sudah berperilaku jahat.

Ad.1.4. Teori Subkultural Delikuensi
Menurut teori subkultural ini, perilaku jahat ialah sifat-sifat suatu struktur sosial dengan pola budaya (subkultural) yang khas dari lingkungan familial, tetangga dan masyarakat yang dialami oleh para anak yang berperilaku jahat tersebut.
Sifat-sifat masyarakat tersebut antara lain ialah :
a.    Punya populasi yang padat
b.    Status sosial-ekonomis penghuninya rendah
c.    Kondisi fisik perkampungan yang sangat buruk
d.    Banyak disorganisasi familial dan sosial bertingkat tinggi
Karena itu sumber utama kemunculan perilaku jahat anak adalah subkultural-subkultural perilaku jahat dalam konteks yang lebih luas dari kehidupan masyarakat. Ringkasnya, ditengah masyarakat modern sekarang, saat tidak semua kelompok sosial mendapatkan kesempatan yang sama untuk menapak jalan masuk menuju kekuasaan-kekayaan dan berbagai previlage, anak-anak dari kelas ekonomi terbelakang dan lemah mudah menyerap etik yang kontradiktif dan kriminal, lalu menolak konvensi umum yang berlaku, mereka menggunakan respon kriminal. Maka tingkah laku jahat anak-anak itu merupakan reaksi terhadap kondisi sosial yang ada.

Rabu, 09 Maret 2011

Hasil Wawancara

Masyarakat modern yang serba kompleks sebagai produk kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi dan urbanisasi memunculkan banyak masalah sosial. Usaha adaptasi atau penyesuaian diri terhadap masyarakat modern sangat kompleks itu menjadi tidak mudah. Kesulitan mengadakan adaptasi menyebabkan banyak kebimbangan, kebingungan, kecemasan dan konflik, baik konflik eksternal yang terbuka, maupun yang internal dalam batin sendiri yang tersembunyi dan tertutup sifatnya. Sebagai dampaknya orang lalu mengembangkan pola tingkah-laku menyimpang dari norma-norma umum, dengan jalan berbuat semau sendiri demi keuntungan sendiri dan kepentingan pribadi, kemudian mengganggu dan merugikan pihak lain.
Beberapa waktu terakhir ini, banyak terjadi kejahatan atau perilaku jahat di masyarakat. Dari berbagai mass media, baik elektronik maupun cetak, kita selalu mendengar dan mengetahui adanya kejahatan atau perilaku jahat yang dilakukan oleh anggota masyarakat. Fakta menunjukkan bahwa semua tipe kejahatan itu semakin bertambah jumlahnya dengan seiring lajunya perkembangan industrialisasi dan urbanisasi.