Kamis, 13 Oktober 2011

Materi Kuliah : Hak atas Kekayaan Intelektual

A. Istilah HaKI (Pasal 66 KUHPerdata)

Hak adalah kewenangan yang diberikan oleh hukum
Kekayaan adalah penguasaan atas benda yang menjadi indikator kesejahteraan
Intelektual adalah hasil olah atak manusia yang berawal dari imajinasi, kreasi dan keterampilan manusia yang menghasilkan karya.

Pengertian
HaKI merupakan hak yang berasal dari hasil kegiatan yang kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspersikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, juga mempunyai nilai ekonomis. Bentuk nyata dari kemampuan karya intelektual tsb bisa bidang teknologi, IP, maupun seni dan sastra (Melantik Marpaung,

B. Keberadaan HAKI di Indonesia
1.     Sejarah Perundang-Undangan HAKI di Indonesia sebelum Kemerdekaan
Hak Kekayaan Intelektual sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia. Sejak zaman Pemerintahan Hindia Belanda, Indonesia telah mempunyai undang-undang tentang hak kekayaan intelektual yang sebenarnya merupakan pemerlakukan peraturan perundang-undangan pemerintahan Hindia Belanda yang berlaku di negeri Belanda, diberlakukan di Indonesia sebagai negara jajahan Belanda berdasarkan prinsip konkordansi.
         Pada masa itu, bidang hak kakayaan intelektual mendapat pengakuan baru 3 (tiga) bidang hak kakayaan intelektual, yaitu bidang Hak Cipta, Merek Dagang dan Industri, serta Paten.
         Adapun peraturan perundang-undangan Belanda bidang Hak Kekayaan Intelektual adalah sebagai berikut.
a.      Auterswet 1912 (Undang-Undang Hak Pengarang 1912, Undang Hak Cipta; S.1912-600).
b.      Reglemen Industriele Eigendom Kolonien 1912 (Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial 1912;S.1912-545 jo. S. 1913-214
c.       Octrooiwet 1910 (Undang-Undang Paten 1910; S.1910-33, yis S.1911-33, S.1922-54.
Undang-Undang Hak Cipta pertama di Belanda diundangkan pada tahun 1803, yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Hak Cipta tahun 1817 dan diperbarui lagi sesuai dengan konvensi Bern 1886 menjadi Auterurswet 1912, (Hindia Belanda saat itu) sebagai negara jajahan Belanda, terikat dalam konvensi Bern tersebut, sebagaimana diumumkan dalam S.1914-797. Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial 1912 merupakan undang-undang merek tertua di Indonesia, yang ditetapkan oleh pemerintah Kerajaan Belanda berlaku sejak tanggal 1 Maret 1913 terhadap wilayah-wilayaj jajahannya Indonesia, Suriname, dan Curacao. Undang-Undang Paten 1910 tersebut mulai berlaku sejak tanggal 1 Juli 1912.
2.     Lingkup berlaku Perundangan-undangan HKI Zaman Belanda berdasarkan 131 Indische Staatstregeling

Pasal 131 IS pada pokoknya mengatur sbb:
a.      Hukum perdata dan hukum dagang (termasuk hukum pidana maupun acara perdata dan pidana) harus diletakkan dalam kitab-kitab undang-undang, yaitu kodifikasi
b.      Untuk golongan bangsa Eropa, dianut (dicontoh) perundang-undangan yang berlaku di negeri Belanda (asas konkordansi).
c.       Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur Asing (Tionghoa, Arab, dan sebagainya), jika ternyata “kebutuhan kemasyarakatan” mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa dinayatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan. Dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru bersama, untuk selainnya harus diindahkan aturan-aturan yang berlaku di kalangan mereka, dan boleh diadakan penyimpangan jika diminta oleh kepentingan umum atau kebutuhan kemasyarakatan mereka (ayat 2).
d.      Orang Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropa, diperbolehkan menundukkan diri (onderwepern) pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa. Penundukan ini boleh dilakukan baik secara umum maupun secara mengenai suatu perbuatan tertentu saja (ayat 4).
e.      Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis dalam undang-undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang bagi mereka, yaitu “hukum adat” (ayat 6).
Pasal 163 IS, golongan Hindia Belanda adalah sbb:
a.      Golongan Eropa, yaitu (a) semua orang goloangan Belanda, (b) semua orang Eropa lainnya, (c) semua orang Jepang, (d) semua orang yang berasal dari tempat lain yang dinegaranya tunduk pada hukum keluarga yang pada pokok berdasarkan asas yang sama seperti hukum benda, dan (e) anak sah atau diakui menurut undang-undang, dan anak yang dimaksud sub b dan c yang lahir di Hindia Belanda.
b.      Golongan Bumiputra, yaitu semua orang yang termasuk rakyat indonesia Asli, yang tidak beralih masuk golongan lain, yang telah membaurkan dirinya dengan golongan lain, dan telah membaurkan dirinya dengan Indonesia Asli.
c.       Golongan Timur Asing, yaitu semua orang yang bukan golongan Eropa dan golongan Bumiputra.
Berdasarkan Pasal 131 jo. 136 IS tersebut dapat diketahui bahwa kodifikasi hukum perdata (burgelijke wetboek) hanya berlaku bagi golongan Eropa dan mereka yang dipermasalahkan. Adapun bagi goloangan Bumiputra dan Timur Asing berlaku hukum ada mereka masing-masing, kecuali sejak tahun 1855 hukum perdata Eropa diberlakukan goloang Timur Asing, selain hukum keluarga dan hukum waris.
Dengan demikian, peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat itu bersiafat pluralistis sesuai dengan goloangan penduduknya, sehingga ada peraturan perundang-udangan Eropa dinyatakan berlaku bagi orang-orang Bumiputra (Indonesia), ada pula peraturan perundang-undangan yang dinyatakan secara khusus dibuat untuk orang-orang Indonesia Asli (Bumiputra). Peraturan perundang-undangan Eropa di bidang Hak Kekayaan Intelektual yang diatur dalam Reglement Industriele Eigendom Kolonien 1912 (Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial 1912; S. 1912-545 jo. S.1913-214), Auterswet 1912 (Undang-Undang Hak Pengarang 1912, Undang-Undang Hak Cipta, S. 1911-33, S.1922-54), merupakan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan berlaku tidak hanya untuk golongan Eropa, melainkan juga berlaku untuk goloangan bukan Eropa.
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa peraturan perundang-undangan Eropa di bidang Hak Kekayaan Intelektual merupakan peraturan perundang-undangan yang bagi semua goloangan penduduk Indonesia.

3.     HKI Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Setelah Indonesia merdeka, berdasaran Pasal 2 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945, maka ketentuan peraturan perundang-undangan Hak kekayaan Intelektual zaman penjajahan Belanda, demi hukum diteruskan keberlakuannya, sampai dengan dicabut dan diganti dengan undang-undang bari hasil produk legislasi Indonesia. Setelah 16 tahun Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1961 barulah Indonesia mempunyai perundang-undangan hak kekayaan intelektual dalam hukum positif pertama kalinya dengan diundangkannya Undang-Undang Merek pada tahun 1961, disusul dengan Undang-Undang Hak Cipta pada 1982, dan Undang-Undang Paten pada tahun 1989.
Undang-undang merek pertama Indonesia lahir pada tahun 1961 dengan diundangkannya Undang-Undang Merek Dagang dan Mereka Perniagaan, pada tanggal 11 Oktober 1961 dan mulai berlaku tanggal 11 November 1961, yang dikenal dengan nomenklatur Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961. Dengan diundangkannya dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961, maka Reglement Industriele Eigendom Kolonien 1912 (Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial 1912; S.1912-545 jo. S.1913-214) tersebut dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Pada tahun 1992 terjadi pembaruan hukum merek di Indonesia, dengan diundangkannya dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 yang mencabut dan menggantikan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961. Selanjutnya pada tahun 1997, terjadi lagi penyempurnaan terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992, dengan diundangkannya dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997. Dan terakhir pada tahun 2001, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tersebut diubah dan disempurnakan serta diganti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001.
Undang-Undang Hak Cipta pertama Indonesia pasca kemerdekaan baru ada pada tahun 1982, dengan diundangkannya dan diberlakukan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982. Kemudian pada tahun 1987, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tersebut diubah dan disempurnakan denga diundangkannya dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987. Selanjutnya pada tahun 1997, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tersebut. Dan terakhir pada tahun 2001, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 jis. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tersebut diubah dan disempurnakan serta diganti dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002.
Undang-undang paten Indonesia pertama baru ada pada tahun 1989 dengan diundangkannya dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989. Kemudian pada tahun 1997, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tersebut diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997. Dan terakhir pada tahun 2001, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tersebut, diubah dan disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001.
Dengan demikian, sejak tahun 1961 s.d. tahun 1999, yang berarti selama 54 tahun sejak Indonesia merdeka, bidak hak kekayaan intelektual yang telah mendapat perlindungan dan pengaturan dalam tata hukum Indonesia baru 3 (tiga) bidang, yaitu merek, hak cipta, dan paten. Adapun 4 (empat) bidang bidak hak kekayaan intelektual lainnya varietas tanaman, rahasia dagang, desain industri, serta desai tata letak sirkuit terpadi, baru mendapat pengaturan dalam hukum Indonesia pada tahun 2000, dengan diundangkkanya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Varietas Tanaman, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tengang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadi, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Industri.

4.     Kondisi HAKI di Indonesia
HAKI sangat penting untuk menggairahkan laju perekonomian dunia yang pada akhirnya membahawa kesejahteraan umat manusia. Meski terus ada upaya pengurangan angka tarif dan kuota secara gradual dalam rangka mempercepat terbentuknya perdagangan bebas, jika produk impor barang dan jasa dibiarkan bebas diduplikasi dan direproduksi secara ilegal, ini merupakan beban berat bagi pelaku perdagangan internasional.
Indonesia dikenal memiliki keragaman hayati yang tinggi, bahkan tergolong pali tinggi di dunia. Bukan itu saja, negeri kita juga mempunyai beragam budaya dan karya tradisional. Namun tanpa disadari, banyak aset dan kekayaan intelektual lokal itu telah terdaftar di luar negeri sebagai milik orang asing. Kurangnya kesadaran akan pentingnya aset karya intelektual ini telah mengakibatkan kerugian yang bagi Indonesia (Kompas dikutip Adrian Sutedi, 2009:6)
Pelanggaran HAKI merupakan pembajakan (piracy), pemalsuan dan konteks hak cipta dan merek dagang (counterfeiting), dan pelanggaran hak paten (infringement) jelas merugikan secara signifikan bagi pelaku ekonomi, terutama akan melukai si pemilik sah dari hak intelektual tersebut. Begitu pun konsumen dan mekanisme pasar yang sehat juga akan terganggu dengan adanya tindak pelanggaran HAKI.
Pelanggaran HAKI yang terjadi antara lain juga karena (saat itu) DPR belum menyelesaikan undang-undang tentang HAKI serta ketidakpahaman aparat hukum dan masyarakat tentang hal tersebut. Hak cipta yang sering dijiplak itu, antara lain karya film, musik, merek, program komputer, dan buku (Kompas dikutip Adrian Sutedi, 2009:6).
 B. Tinjauan Singkat Perjalanan HAKI di Dunia Internasional
Hak atas kekayaan Intelektual atau juga dikenal dengan HAKI merupakan terjemahan atas istilah Intellectual Property Right (IPR). istilah tersebut terdiri dari tiga kata kunci, yaktu Hak, Kekayaan dan Intelektual. Kekayaan merupakan abstraksi yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun dijual. adapun Kekayaan Intelektual merupakan kekayaan atas segala hasil produksi kecerdasan daya pikir seperti teknologi, pengetuan, seni, sastra, gubahan lagu, karya tulis, karikatur, dan seterusnya. terakhir Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) merupakan hak-hak (wewenang/kekuasaan) untuk berbuat sesuatu atau kekayaan intelektual tersebut, yang diatur oleh norma-norma atau hukum-hukum yang berlaku (Adrian Sutedi, 38:2009)
Hak dibagi menjadi dua. Pertama Hak Dasar (Asasi) merupakan hak mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Umpamanya hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan keadilan, dan sebagainya. Kedua, Hak Amanat Aturan/Perundangan, yaitu hak karena diberikan/diatur oleh masyarakat melalui peraturan/perundangan. Di berbagai negara, termasuk Amerika dan Indonesia, HAKI merupakan Hak Amanat Aturan, sehingga masyarakatlah yang menentukan, seberapa besar HAKI yang diberikan kepada individu dan kelompok.
terlihat bahwa HAKI merupakan hak pemberian dari umum (publik) yang dijamin oleh undang-undang. HAKI bukan merupakan hak asasi, sehingga kriteria pemberian HAKI merupakan hal yang dapat diperdebatkan oleh publik. tumbuhnya konsepsi kekayaan atas karya-karya intelektual pada akhirnya juga menimbulkan kebutuhan untuk melindungi atau mempertahankan kekayaan tersebut. pada gilirannya, kebutuhan ini melahirkan konsepsi perlindungan hukum atas kekayaan tadi, termasuk pengakuan hak terhadapnya. sesuai dengan hakikatnya pula, HAKI dikelompokkan sebagai hak milik perorangan yang sifatnya tidak berwujud (intangible).
          Undang-undang mengenai HAKI pertama laki ada di Venice, Italia yang menyangkut masalah paten pada tahun 1470. Caxton, Galileo, dan Gunttenberg tercatat sebagai penemu-penemu muncul dalam kurun waktu tersebut dan mempunyai hak monopoli atas penemuan mereka. hukum-hukum tentang paten tersebut kemudian diadopsi oleh kerajaan Inggris di zaman TUDOR tahun 1500-an dan kemudian lahir hukum mengenai paten pertama di Inggris, yaitu Statute of Monopolies (1623). Amerika Serikat baru mempunyai undang-undang paten tahun 1791. Upaya harmonisasi dalam bidang HAKI pertama kali terjadi tahun 1883 dengan lahirnya Paris Convention untuk masalah paten, merek dagang, dan desain. Kemudian Berne Convention 1886 untuk masalah Hak Cipta (Copyright).
           Kekuatan Nasional suatu negara tergantung juga pada kemajuan dan kemauan menghasilkan hak atas kekayaan intelektual. hal ini telah dibuktikan oleh negara-negara maju sebelum Perang Dunai Kedua. Jerman dan Jepang sebelum Perang Dunia II telah mempersiapkan diri menjadi kuat dengan mengandalkan strategi utama, yaitu penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
           Pengembangan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi diteruskan oleh negara-negara pemenang Perang Dunia II terutama Amerika Serikat, Rusia, dan negara-negara Eropa lainnya, Jepang juga terus mengembangkan teknologinya, meskipun negaranya telah mengalami kekalahan pada Perang Dunia II dan mengalami kehancuran oleh ledakan Bom di Hirosima dan Nagasaki. Berdasarkan pengalaman sejarah, mereka menyadari betul pentingnya hak atas kekayaan intelektual sebagai sumber kekuatan politik berbasis ekonomi (Abdul Kadir Muhammad dikutip Adrian Sutedi, 2009:39) Jepang, dalam kurun waktu relatif telah banyak menghasilkan berbagai penemuan baru sebagai basis pertumbuhan dan pengembangan industri dan perdagangan yang menguasai pasar global, sehingga Jepang dapat bangkit sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia.
            Untuk mewujudkan ubungan perdagangan internasional, negara-negara yang memenangkan perang telah berusaha untuk membentuk Internasional Trade Organization (ITO). Akan tetapi, pembentukan ITO mengalami kegagalan karena Amerika Serikat tidak mendukungnya. Sebagai gantinya dibentuk The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) (H.S. Kartadjoemena dikutip Adrian Sutedi, 2009:40) perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 30 Oktober 1947 oleh 8 (delapan) negaram yaitu Australia, Belgia, Kanada, Prancis, Luxemburg, Belanda, Inggris (United Kingdom), dan Amerika Serikat. Kegalalan pelaksanaan GATT pada tahun 1948 lebih banyak disebabkan oleh penolakan Kongres Amerika Serikat, khususnya yang berhubungan dengan masalah proteksionisme.(Bussiness dikutip Adrian Sutedi, 2009:40)
           GATT adalah bagian dari organisasi Perseriktan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertujuan untuk melindungi keseimbangan kepentingan antarnegara-negara anggota PBB dalam hubungan perdagangan internasional. Pada saat itu GATT berfungsi sebagai alat stabilitasi nasional mengenai tarif bea masuk dan sebagai forum konsultasi perdagangan internasional.
           Dalam Perkembangannya, negara-negara anggota GATT mengadakan perundingan Putran Uruguay di Jenewa dengan menerima kesepakatan naskah Final Act Uruguay Round pada tanggal 15 Desember 1993, sebagai hasil konkret perundingan Putaran Uruguay yang dimulai pada tahun 1986 dengan Deklarasi Punta Del Este. Final Act Uruguay Round secara resmi ditandatangani di Marakesh, Maroko oleh 125 negara, termasuk di dalamnya Indonesia. Perundingan tersebut menghasilkan perjanjian untuk membentuk World Trade Organization, yang merupakan lembaga penerus GATT, perjanjian perdagangan barang, perjanjian perdagangan jasa-jasa, serta perjanjian Hak atas Kekayaan Intelektual.
          Dengan adanya subtansi perjanjian TRIPs dalam GATT maka Indonesia harus konsekuen terhadap hasil perjanjian perdagangan internasional GATT dengan melakukan berbagai kebijakan hukum di bidang Hak atas Kekayaan Intelektual. Selain itu penerapan perlindungan terhadap pemilik Hak atas Kekayaan Intelektual harus benar-benar memberikan jaminan atas tindakan pembajakan, pencurian, pembocoran, pengungkapan, dan tindakan curang lainnya.
         Intelektual capital dapat bergerak dan bersirkulasi dengan tingkat kekerapan sangat tinggi dalam arus perputaran moral dunia, khususnya di negara-negara maju. Ketika kemajuan teknologi begitu pesat dan pasar terus bertransformasi dalam tataran global dalam bentuk transnational, diperlukan perangkat hukum untuk meningkatkan dan melindungi kepentingan investasi industri, budaya dan pasar. dari sanalah, pada pertengahan tahun 1980-an, negara-negara yang tergabung dalam GATT/WTO bersepakat tentang aturan main IPR atau HAKI. Lebih-lebih dalam tahun 2002, Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya yang menjadi anggota AFTA, dituntut untuk mempersiapkan perangkat-perangkat aturannya, antara lain tentang masalah peraturan HAKI dan implementasinya.

1 komentar: