Jumat, 28 Oktober 2011

Materi Kuliah : Hukum Kejahatan Internasional

BAB I
MASYARAKAT DAN HUKUM INTERNASIONAL
A.    Masyarakat Internasional
1.    Masyarakat Internasional Sebagai Landasan Sosiologis Hukum Internasional
    Landasan sosiologis hukum adalah masyarakat. Artinya, hukum itu ada dan berlaku jika ada masyarakat. Demikian pula halnya hukum internasional. Oleh karena itu, untuk membuktikan ada dan berlakunya hukum internasional maka terlebih dahulu harus dibuktikan adanya masyarakat internasional. Dengan kata lain, masyarakat internasional adalah landasan sosiologis bagi berlakunya hukum internasional.
a.    Adanya suatu masyarakat Internasional
Adanya masyarakat internasional ditunjukkan adanya hubungan yang terdapat antara anggota masyarakat internasional, karena adanya kebutuhan yang disebabkan antara lain oleh pembagian kekayaan dan perkembangan industri yang tidak merata di dunia seperti adanya perniagaan atau pula hubungan di lapangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, keagamaan, sosial dan olah raga mengakibatkan timbulnya kepentingan untuk memelihara dan mengatur hubungan bersama merupakan suatu kepentingan bersama. Untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan Internasional inilah dibutuhkan hukum dunia menjamin unsur kepastian yang diperlukan dalam setiap hubungan yang teratur.
Masyarakat Internasional pada hakekatnya adalah hubungan kehidupan antar manusia dan merupakan suatu kompleks kehidupan bersama yang terdiri dari aneka ragam masyarakat yang menjalin dengan erat.
b.    Asas hukum yang bersamaan sebagai unsur masyarakat hukum internasional.
Suatu kumpulan bangsa untuk dapat benar-benar dikatakan suatu masyarakat Hukum Internasional harus ada unsur pengikat yaitu adanya asas kesamaan hukum antara bangsa-bangsa di dunia ini. Betapapun berlainan wujudnya hukum positif yang berlaku di tiap-tiap negara tanpa adanya suatu masyarakat hukum bangsa-bangsa merupakan hukumalam (naturerech) yang mengharuskan bangsa-bangsa di dunia hidup berdampingansecara damai dapat dikembalikan pada akal manusia (ratio) dan naluri untukmempertahankan jenisnya.
Untuk dapat dikatakan ada masyarakat internasional, ada sejumlah syarat atau unsur tertentu yang harus dipenuhi. Syarat-syarat tersebut mencakup baik syarat materiil maupun non-materiil.
    Syarat materiil dari adanya hukum internasional adalah berupa fakta-fakta eksitensi fisik yaitu:
(a)    Adanya negara-negara yang merdeka dan berdaulat.
Pada saat ini terdapat ratusan negara merdeka dan berdaulat. Dengan demikian, syarat adanya negara-negara merdeka dan berdaulat sudah menjadi fakta yang tidak mungkin dibantah.
(b)    Adanya hubungan yang tetap dan berkelanjutan antar negara-negara yang merdeka dan berdaulat tersebut.
Syarat ini pun sudah merupakan fakta yang tidak dapat dibantah. Dalam kehidupan dunia saat ini, tak ada satu pun negara yang mengisolasi dirinya dari pergaulan internasional. Sebab, suka atau tidak, negara-negara itu harus mengadakan hubungan satu dengan yang lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain, mereka saling bergantung satu dengan yang lain dalam memenuhi kebutuhannya.
(c)    Adanya hukum yang mengatur hubungan tetap antar negara-negara merdeka dan berdaulat itu.
Hubungan yang tetap dan berkelanjutan antara negara-negara hanya mungkin berlangsung tertib apabila ada hukum yang mengaturnya. Artinya, hukum dibutuhkan untuk menjamin kepastian kelangsungan hubungan itu. Ini pun sudah merupakan fakta yang tak dapat dibantah. Sebab tidaklah mungkin suatu negara berhubungan dengan negara lain tanpa landasan dan ikatan kaidah hukum, betapa pun sederhana dan tidak formalnya hubungan itu. Hukum itu baik yang berupa kaidah hukum tertulis yang lahir dari perjanjian maupun berupa kaidah hukum kebiasaan.
    Sementara itu, syarat non-materiil dari masyarakat internasional adalah adanya kesamaan asas-asas hukum. Bagaimanapun berbedanya corak hukum positif yang berlaku di masing-masing negara yang ada di dunia saat ini, mereka pasti mengakui dan terikat oleh adanya kesamaan asas-asas atau prinsip-prinsip hukum. Inilah yang dinamakan prinsip-prinsip atau asas-asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab (general principles of law recognized by civilized nations – akan dibahas lebih jauh dalam pembahasan tentang sumber-sumber hukum internasional). Adanya kesamaan asas-asas hukum ini dapat dikembalikan kepada rasio dan naluri mempertahankan diri yang ada pada manusia. Masyarakat bangsa-bangsa, yang terdiri atas sekumpulan manusia, pun tunduk kepada rasio dan naluri demikian.
B.    Hakikat Kedaulatan dan Fungsinya dalam Perkembangan Hukum Internasional
    Sebagaimana diketahui, kedaulatan (souvereignty) berarti kekuasaan tertinggi (dari istilah Latin “superanus” yang berarti “yang tertinggi” atau “yang teratas”). Negara dikatakan berdaulat (sovereian) karena kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki negara. Negara berdaulat berarti negara itu mempunyai kekuasaan tertentu. Negara itu tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi daripada kekuasaannya sendiri dan mengandung 2 (dua) pembatasan penting dalam dirinya:
1)    Kekuasaan itu berakhir dimana kekuasaan suatu negara lain mulai.
2)    Kekuasaan itu terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu.
Konsep kedaulatan, kemerdekaan dan kesamaan derajat tidak bertentangan satu dengan lain bahkan merupakan perwujudan dan pelaksanaan pengertian kedaulatan dalam arti wajar dan sebagai syarat mutlak bagi terciptanya suatu masyarakat Internasional yang teratur.
Dengan kata lain, suatu negara berdaulat tidak mengakui adanya kekuasaan lain yang lebih tinggi darinya. Pengertian inilah yang kemudian menimbulkan persoalan dalam hubungannya dengan hukum internasional karena seolah-olah kedaulatan itu menghambat perkembangan hukum internasional atau bahkan bertentangan dengan hukum internasional. Bagaimana mungkin sesuatu yang menganggap dirinya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi akan tunduk pada kekuasaan lain?  Dengan kata lain, tidak mungkin hukum internasional itu mengikat negara-negara jika negara-negara itu merupakan kekuasaan tertinggi yang tidak mengakui adanya kekuasaan lain yang lebih tinggi (yaitu, dalam hal ini, hukum internasional).
    Pandangan demikian, meskipun sepintas tampak masuk akal, sesungguhnya tidak benar. Pandangan demikian lahir karena didasari oleh pemahaman yang keliru mengenai dua hal. Pertama, pandangan demikian keliru dalam memahami masyarakat internasional (dan sifat hakikat hukum internasional). Kedua, pandangan demikian juga keliru dalam memahami hakikat kedaulatan.
    Tentang kekeliruan yang pertama: kekeliruan dalam memahami masyarakat internasional (dan sifat hakikat hukum internasional). Sebagaimana telah dijelaskan pada uraian sebelumnya, struktur masyarakat internasional bukanlah struktur masyarakat atau negara dunia melainkan suatu masyarakat yang terdiri atas negara-negara yang masing-masing merdeka yang tidak memiliki suatu pemerintahan dunia (world government). Sementara itu tertib hukum yang mengaturnya, yaitu hukum internasional, bukanlah tertib hukum yang bersifat subordinatif melainkan tertib hukum koordinatif. Jadi, pandangan yang menyatakan bahwa kedaulatan menghambat perkembangan hukum internasional baru menjadi benar apabila masyarakat internasional itu adalah masyarakat atau negara dunia dan tertib hukum yang mengaturnya adalah tertib hukum dunia yang merupakan tertib hukum yang bersifat subordinatif.
    Tentang kekeliruan yang kedua: kekeliruan dalam memahami hakikat kedaulatan. Benar bahwa kedaulatan berarti kekuasaan yang tertinggi. Benar pula bahwa suatu negara berdaulat tidak mengakui adanya kekuasaan lain yang lebih tinggi di luar dirinya. Namun, kekuasaan yang tertinggi bukanlah berarti kekuasaan yang tidak terbatas.
    Kedaulatan, sebagai kekuasaan tertinggi, ada batas-batasnya.  Negara berdaulat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pun ada batas-batasnya sampai di mana kekuasaan itu dapat atau boleh dilaksanakan. Pembatasan pertama dari kedaulatan suatu negara adalah kedaulatan yang dimiliki oleh negara lain. Di sini terkandung dua pengertian, yaitu: pertama, kedaulatan atau kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara hanya berlaku dalam batas-batas wilayah negara yang bersangkutan; kedua, kedaulatan atau kekuasaan tertinggi suatu negara itu berakhir di mana kedaulatan negara lain dimulai. Jadi, sesungguhnya dalam sifat hakikat kedaulatan suatu negara itu sendiri telah dengan sendirinya terkandung pembatasan.
    Pembatasan yang kedua terhadap kedaulatan negara adalah hukum internasional. Artinya, jika pada tahap pertama pembatasan terhadap kedaulatan negara itu terletak pada kedaulatan negara lain maka pembatasan terhadap kedaulatan seluruh negara terletak pada hukum internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antar negara-negara yang berdaulat itu. Sebab, tidak mungkin akan tercipta hubungan antarnegara (hubungan internasional) yang tertib dan teratur tanpa adanya penerimaan akan pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh hukum internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antarnegara atau hubungan internasional itu.
    Jadi, dapat disimpulkan bahwa selama masyarakat internasional masih tetap berupa masyarakat yang anggotanya terdiri atas negara-negara yang masing-masing merdeka dan berdaulat, bukan masyarakat yang merupakan negara dunia, maka kedaulatan negara bukanlah penghambat perkembangan hukum internasional dan sekaligus tidak bertentangan dengan hukum internasional. Pandangan yang menyatakan bahwa kedaulatan bertentangan dengan hukum internasional dan sekaligus menghambat perkembangan hukum internasional baru menjadi benar hanya jika masyarakat internasional itu telah menjadi masyarakat atau negara dunia dan hukum internasional itu sudah merupakan hukum dunia.
C.    Masyarakat Internasional Dalam Peralihan
Perubahan-perubahan dalam peta bumi politik, kemajuan teknologi dan struktur masyarakat internasional Masyarakat Internasional mengalami berbagai perubahan yang besar dan pokok ialah perbaikan peta bumi politik yang terjadi terutama setelah Perang Dunia II. Proses ini sudah dimulai pada permulaan abad XX mengubah pola kekuasaan politik di dunia. Timbulnya negara-negara baru yang merdeka, berdaulat dan sama derajatnya satu dengan yang lain terutama sesudah Perang Dunia.
Kemajuan teknologi berbagai alat perhubungan menambah mudahnya perhubungan yang melintasi batas negara. Perkembangan golongan ialah timbulnya berbagai organisasi atau lembaga internasional yang mempunyai eksistensi terlepas dari negara-negara dan adanya perkembangan yang
memberikan kompetensi hukum kepada para individu. Kedua gejala ini menunjukkan bahwa disamping mulai terlaksananya suatu masyarakat internasional dalam arti yang benar dan efektif berdasarkan asas kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan derajat antar negara sehingga dengan demikian terjelma Hukum Internasional sebagai hukum koordinasi, timbul suatu komplek kaedah yang lebih memperlihatkan ciri-ciri hukum subordinasi.

D.    Sejarah Hukum Internasional
Secara kronologis urutan waktu yang mencerminkan perkembangan hukum internasional sampai saat ini oleh John O'Brien dibagi dalam sembilan phase: (i) periode sampai tahun 1500; (ii) abad 16; (iii) abad 17; (iv) abad 18; (v) periode 1800-1914; (vi) pendirian Liga Bangsa-Bangsa (LBB); (vii) periode inter-war years (1919-39); (viii) pembentukan sistem PBB; (ix) mulainya sistem baru selak 1945.
Walaupun tulisan ini tidak mengikuti pengurutan O'Brien secara eksplisit, pengurutan tersebut dapat membantu pemahaman kita terhadap kondisi kontemporer.
Hukum Internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara, lahir dengan kelahiran masyarakat Interansional yang didasarkan atas negara-negara nasional. Sebagai titik saat lahirnya negara-negara nasional yang modern biasanya diambil saat ditandatanganinya Perjanjian Perdamaian Westphalia yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa.
Zaman dahulu kala sudah terdapat ketentuan yang mengatur, hubungan antara raja-raja atau bangsa-bangsa:
    Dalam lingkungan kebudayaan India Kuno telah terdapat kaedah dan lembaga hukum yang mengatur hubungan antar kasta, suku-suku bangsa dan raja-raja yang diatur oleh adat kebiasaan. Menurut Bannerjce, adat kebiasaan yang mengatur hubungan antara raja-raja dinamakan Desa Dharma. Pujangga yang terkenal pada saat itu Kautilya atau Chanakya. Penulis buku Artha Sastra Gautamasutra salah satu karya abad VI SM di bidang hukum.
    Kebudayaan Yahudi. Dalam hukum kuno mereka antara lain Kitab Perjanjian Lama, mengenal ketentuan mengenai perjanjian, diperlakukan terhadap orang asing dan cara melakukan perang. Dalam hukum perang masih dibedakan (dalam hukum perang Yahudi ini) perlakuan terhadap mereka yang dianggap musuh bebuyutan, sehingga diperbolehkan diadakan penyimpangan ketentuan perang.
    Lingkungan kebudayaan Yunani. Hidup dalam negara-negara kita. Menurut hukum negara kota penduduk digolongkan dalam 2 golongan yaitu orang Yunani dan orang luar yang dianggap sebagai orang biadab (barbar). Masyarakat Yunani sudah mengenal ketentuan mengenai perwasitan (arbitration) dan diplomasi yang tinggi tingkat perkembangannya.
    Sumbangan yang berharga untuk Hukum Internasional waktu itu ialah konsep hukum alam yaitu hukum yang berlaku secara mutlak dimanapun juga dan yang berasal dari rasion atau akal manusia.
    Hukum Internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antara kerajaan-kerajaan tidak mengalami perkembangan yang pesat pada zaman Romawi. Karena masyarakat dunia merupakan satu imperium yaitu imperium roma yang menguasai seluruh wilayah dalam lingkungan kebudayaan Romawi. Sehingga tidak ada tempat bagi kerajaan-kerajaan yang terpisah dan dengan sendirinya tidak ada pula tempat bagi hukum bangsa-bangsa yang mengatur hubungan antara kerajaan-kerajaan. Hukum Romawi telah menyumbangkan banyak sekali asas atau konsep yang kemudian diterima dalam hukum Internasional ialah konsep seperti occupatio servitut dan bona fides. Juga asas “pacta sunt servanda” merupakan warisan kebudayaan Romawi yang berharga.
    Selama abad pertengahan dunia Barat dikuasai oleh satu sistem feodal yang berpuncak pada kaisar sedangkan kehidupan gereja berpuncak pada Paus sebagai Kepala Gereja Katolik Roma. Masyarakat Eropa waktu itu merupakan satu masyarakat Kristen yang terdiri dari beberapa negara yang berdaulat dan Tahta Suci, kemudian sebagai pewaris kebudayaan Romawi dan Yunani.
    Disamping masyarakat Eropa Barat, pada waktu itu terdapat 2 masyarakat besar lain yang termasuk lingkungan kebudayaan yang berlaianan yaitu Kekaisaran Byzantium dan Dunia Islam. Kekaisaran Byzantium sedang menurun mempraktekan diplomasi untuk mempertahankan supremasinya. Oleh karenanya praktek Diplomasi sebagai sumbangan yang terpenting dalam perkembangan Hukum Internasional dan Dunia Islam terletak di bidang Hukum Perang.

Perjanjian Westphalia
    Perdamaian Westphalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam sejarah Hukum Internasional modern, bahkan dianggap sebagai suatu peristiwa Hukum Internasional modern yang didasarkan atas negara-negara nasional. Sebabnya adalah:
1)    Selain mengakhiri perang 30 tahun, Perjanjian Westphalia telah meneguhkan perubahan dalam peta bumi politik yang telah terjadi karena perang itu di Eropa.
2)    Perjanjian perdamaian mengakhiri untuk selama-lamanya usaha Kaisar Romawi yang suci.
3)    Hubungan antara negara-negara dilepaskan dari persoalan hubungan kegerejaan dan didasarkan atas kepentingan nasional negara itu masing-masing.
4)    Kemerdekaan negara Nederland, Swiss dan negara-negara kecil di Jerman diakui dalam Perjanjian Westphalia.
    Perjanjian Westphalia meletakan dasar bagi susunan masyarakat Internasional yang baru, baik mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas negara-negara nasional (tidak lagi didasarkan atas kerajaan-kerajaan) maupun mengenai hakekat negara itu dan pemerintahannya yakni pemisahan kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh gereja.
    Ciri masyarakat Internasional yang terdapat di Eropa yang dasarnya diletakkan oleh Perjanjian Westphalia. Ciri-ciri pokok yang membedakan organisasi susunan masyarakat Internasional yang baru ini dari susunan masyarakat Kristen Eropa pada zaman abad pertengahan:
1)    Negara merupakan satuan teritorial yang berdaulat.
2)    Hubungan nasional yang satu dengan yang lainnya didasarkan atas kemerdekaan dan persamaan derajat.
3)    Masyarakat negara-negara tidak mengakui kekuasaan di atas mereka seperti seorang kaisar pada zaman abad pertengahan dan Paus sebagai Kepala Gereja.
4)    Hubungan antara negara-negara berdasarkan atas hukum yang banyak mengambil oper pengertian lembaga Hukum Perdata, Hukum Romawi.
5)    Negara mengakui adanya Hukum Internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antar negara tetapi menekankan peranan yang besar yang dimainkan negara dalam kepatuhan terhadap hukum ini.
6)    Tidak adanya Mahkamah (Internasional) dan kekuatan polisi internasional untuk memaksakan ditaatinya ketentuan hukum Internasional.
7)    Anggapan terhadap perang yang dengan lunturnya segi-segi keagamaan beralih dari anggapan mengenai doktrin bellum justum (ajaran perang suci) kearah ajaran yang menganggap perang sebagai salah satu cara penggunaan kekerasan.
    Dasar-dasar yang diletakkan dalam Perjanjian Westphalia diperteguh dalam Perjanjian Utrech yang penting artinya dilihat dari sudut politik Internasional, karena menerima asas keseimbangan kekuatan sebagai asas politik internsional.
    Hugo Grotius mendasarkan sistem hukum Internasionalnya atas berlakunya hukum alam. Hukum alam telah dilepaskannya dari pengaruh keagamaan dan kegerejaan. Banyak didasarkan atas praktek negara dan perjanjian negara sebagai sumber Hukum Internasional disamping hukum alam yang diilhami oleh akal manusia, sehingga disebut Bapak Hukum Internasional.
    Selain Hugo Grotius ada pula Sarjana yang menulis Hukum Internasional: - Fransisco Vittoria (biarawan Dominikan – berkebangsaan Spanyol Abad XIV menulis buku Relectio de Indis mengenai hubungan Spanyol dan Portugis dengan orang Indian di AS. Bahwa negara dalam tingkah lakunya tidak bisa bertindak sekehendak hatinya. Maka hukum bangsa-bangsa ia namakan ius intergentes. - Fransisco Suarez (Yesuit) menulis De legibius ae Deo legislatore (on laws and God as legislator) mengemukakan adanya suatu hukum atau kaedah obyektif yang harus dituruti oleh negara-negara dalam hubungan antara mereka. - Balthazer Ayala (1548-1584) dan Alberico Gentilis mendasarkan ajaran mereka atas falsafah keagamaan atau tidak ada pemisahan antara hukum, etika dan teologi.

E.    Batasan Hukum Internasional Dalam Wujudnya
Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Pada awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antar negara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional dan, pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan individu.
Hukum Internasional ialah keseluruhan kaedah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara
Prof Dr. Mochtar Kusumaatmaja mengatakan bahwa Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara antara negara dengan negara, negara dengan subjek hukum internasional lainnya.
a.    Hukum internasional terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
1.    Hukum Perdata Internasional, adalah hukum internasional yang mengatur hubungan hukum antara warga negara di suatu negara dengan warga negara dari negara lain (hukum antar bangsa)
2.    HUkum Publik Internasional, adalah hukum internasional yang mengatur negara yang satu dengan lainnya dalam hubungan internasional (Hukum Antarnegara)

b.    Bentuk Hukum internasional
Hukum Internasional terdapat beberapa bentuk perwujudan atau pola perkembangan yang khusus berlaku di suatu bagian dunia (region) tertentu :
1.    Hukum Internasional Regional
Hukum Internasional yang berlaku/terbatas daerah lingkungan berlakunya, seperti Hukum Internasional Amerika / Amerika Latin, seperti konsep landasan kontinen (Continental Shelf) dan konsep perlindungan kekayaan hayati laut (conservation of the living resources of the sea) yang mula-mula tumbuh di Benua Amerika sehingga menjadi hukum Internasional Umum. Hukum Internasional Khusus Hukum Internasional dalam bentuk kaedah yang khusus berlaku bagi negara-negara tertentu seperti Konvensi Eropa mengenai HAM sebagai cerminan keadaan, kebutuhan, taraf perkembangan dan tingkat integritas yang berbeda-beda dari bagian masyarakat ang berlainan. Berbeda dengan regional yang tumbuh melalui proses hukum kebiasaan.
2.     Hukum Internasional dan Hukum Dunia
Hukum Internasional didasarkan atas pikiran adanya masyarakat internasional yang terdiri atas sejumlah negara yang berdaulat dan merdeka dalam arti masing-masing berdiri sendiri yang satu tidak dibawah kekuasaan lain sehingga merupakan suatu tertib hukum koordinasi antara anggota masyarakat internasional yang sederajat.
Hukum Dunia berpangkal pada dasar pikiran lain. Dipengaruhi analogi dengan Hukum Tata Negara (constitusional law), hukum dunia merupakan semacam negara (federasi) dunia yang meliputi semua negara di dunia ini. Negara dunia secara hirarki berdiri di atas negara-negara nasional. Tertib hukum dunia menurut konsep ini merupakan suatu tertib hukum subordinasi.
c.    Asas-asas yang berlaku dalam hukum internasional, adalah :
1.    Asas Teritorial, Menurut asas ini, negara melaksanakan hukum bagi semua orang dan semua barang yang berada dalam wilayahnya.
2.    Asas Kebangsaan, menurut asas ini setap warganegara dimanapun dia berada, tetap mendapat perlakuan hukum dari nearanya. asas ini memiliki kekuatan ekstrateritorial, artinya hukum negara tetap berlaku bagi seorang warganegara walaupun ia berada di negara lain.
3.    Asa Kepentingan Umum, menurut asas ini negara dapat menyesuaikan diri dengan dengan semua keadaan dan peristiwa yang bersangkut paut dengan kepentingan umum. Jadi, hukum tidak terikat pada batas-batas wilayah suatu negara.
BAB II SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL
A.    Negara
Negara : organisasi tertinggi yang memiliki teritorial dan kekuasaan untuk mengatur dan memelihara rakyatnya (masyarakat) di bawah perundang-undangan (hukum) yang jelas dan tegas
Empat konsep negara dalam empat perspektif utama
1.    Politis > kekuasaan : negara sebagai organisasi kekuasaan
2.    Sosiologis > masyarakat : negara sebagai kenyataan masyarakat
3.    Yuridis > hukum : negara sebagai organisasi hukum
4.    Religis > tuhan : negara sebagai implementasi kedaulatan tuhan di bumi
Pandangan beberapa pakar tentang negara
-    George Jellinek : negara merupakan organisasi tertinggi dari bangunan hukum satu sisi dan bangunan masyarakat di sisi lain (teori dua segi/zweiseiten theorie)
-    Harold J. Laski : negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu
-    Roger H. Soltau : negara adalah alat (agency) atau wewenang (outhority) yang mengatur dan mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat
-    Mas Weber : negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli  dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah
-    Prof. R. Djokosoetono, SH : negara ialah suatu organisasi manusia atau sekumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama
-    O. Notohamidjojo : negara adalah organisasi masyarakat yang bertujuan mengatur dan memelihara masyarakat tertentu dengan kekuasaan. dll
Asal Mula Negara
a.    Secara faktual
-    Suatu wilayah atau daerah belum ada yang menguasai, kemudian diduduki oleh suatu bangsa maka daerah tersebut berubah menjadi negara
Contoh : Liberia yang diduduki oleh budak2 negro dan dimerdekakan th. 1847
-    Suatu wilayah atau daerah yang semula termasuk wilayah negara tertentu, kemudian melepaskan diri dari negara itu dan menyatakan kemerdekaannya
Contoh : Timor Timur yang berpisah dr Indonesia th. 1999
b. Secara teoritis
-    Teori Ketuhanan : segala kejadian di jagad raya ini terjadi karena kehendak Tuhan
-    Teori Hukum Alam : bukan merupakan buatan negara, melainkan hukum yang berlaku menurut hukum alam.
-    Teori Perjanjian Masyarakat : sebelum ada negara, manusia hidup secara sendiri2. dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain.
-    Teori Organis : lahirnya negara (dianalogikan) kelahiran makhluk hidup lainnya
-    Teori Garis Kekeluargaan : negara terbentuk dari perkembangan suatu keluarga yang menjadi besar kemudian bersatu membentuk negara
Menurut perserikatan Montevoideo dikatakan negara apabila memiliki masyarakat, pemerintah, wilayah dan kedaulatan
Menurut Konvensi Montevidio, Negara terdiri atas :
-    Rakyat
-    Wilayah
-    Pemerintah yang berdaulat dan
-    Pengakuan dari negara-negara lain
Tujuan / Visi Negara
Menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya (bonum publicum, common good, common wealth)
Garis besar kebahagiaan
 1) keamanan dan keselamatan (security and safety)
2) Kesejahteraan dan kemakmuran (welfare and prosperity)


B.    Takhta Suci
Tahta suci (vatikan) merupakan salah satu subjek hukum internasional yang telah ada sejak dahulu di samping negara. Hal ini merupakan peninggalan (atau kelanjutan) sejarah zaman dahulu ketika paus bukan hanya merupakan kepala gereja roma tetapi memiliki pula kekuasaan duniawi.
Tahta suci merupakan suatu subjek hubungan yang sejajar kedudukannya dengan negara.

C.    Palang Merah Indonesia
       organisasi ini sebagai suatu subjek hukum (yang tebatas lahir karena sejarah namun kedudukannya diperkuat dalam perjanjian. Sekarang Palang Merah Internasional secara umum diakui sebagai organisasi Internasional yang memiliki kedudukan sebagai subjek hukum Internasional tersendiri walaupun dengan ruang lingkup yang sangat terbatas
Pendiri Gerakan Palang Merah Internasional  : Jean Hendry Dunand
Motto : kita semua bersaudara (siamo tutty fratelly)
Prinsip-prinsip Dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Internasional:
-    Kemanusiaan
-    Kesamaan
-    Kenetralan
-    Kemandirian
-    Kesukarelaan
-    Kesatuan
-    Kemestaan

D.    Organisasi Internasional
-    PBB
-    ILO
-    Unesco
-    WHO
-    Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional
Organisasi Internasional mempunyai kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi internasional yang merupakan semacam anggaran dasarnya

E.    Orang perorangan (Individu)
      individu dianggap sebagai subjek hukum, antara lain terdapat dalam :
a.    Perjanjian Versailles tahun 1919
b.    Perjanjian antara Jerman dan Polandia tahun 1972
c.    Keputusan Mahkamah Internasional dalam perkara yang mengangkut pegawai kereta api Danzig
d.    Keputusan organisasi regional dan transnasional seperti PBB, ILO, Masyarakat Eropa, dll

F.    Pemberontak dan Pihak dalam Sengketa (belligerent)
G.    Penyelesaian sengketa internasional dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu :
H.    1. Dengan cara damai, terdiri dari :
I.    Arbitrasi. arbitrase biasanya dilakukan dengan cara menyerahkan sengketa kepada orang-orang tertentu (arbitrator) yag dipilih secarea bebas oleh berbagai pihak untuk memutuskannya tanpa terlalu terikat dengan prosedur hukum.
J.    Penyelesaian Yudisia, adalah suatu penyelesaian dihasilkan melalui suatu peradilan yudicial internasional yang dibentuk sebagaimana mestinya dengan memberlakukan kaidah-kaidah hukum. Contoh International Court of Justice, yang berkedudukan di Denhag Belanda.
K.    Negosiasi (perundingan), jasa-jasa baik, mediasi, dan konsiliasi.
L.    penyelidikan
M.    Penyelesaian di bawah naungan PBB
2. Dengan cara paksa atau kekerasan, terdisi dari :
perang dan tindakan bersenjata non perang
Retorsi, yaitu istilah teknis untuk pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap negara lain karena diperlakukan secara tidak pantas.
Tindakan-tindakan pembalasan (Repraisal), yaitu suatu metode yang dipakai oleh suatu negara untuk memperoleh ganti kerugian dari negara lain  dengan melakukan tindakan-tindakan pemalasan.
Blokade secara damai
intervensi
Sebab-Sebab Sengketa Internasional
Secara garis besar sengketa internasional terjadi karena hal-hal berikut :
1.    Sengketa terjadi karena masalah Politik
Hal ini terjadi karena adanya perang dingin antara blok barat (liberal membentuk pakta pertahanan NATO) di bawah pimpinan Amerika dan blok Timur (Komunis membentuk pakta pertahanan Warsawa) dibawah pimpinan Uni Sovyet/ Rusia. kedua blok ini saling memeperluas pengaruh ideologi dan ekonominya di berbagai negara sehingga banyak negara yang kemudian menjadi korban.
contoh korea yang terpecah menjadi dua, yaitu Korea Utara dengan paham komunis dan korea selatan dengan paham liberal
2. Karena batas wilayah
hal ini terjadi karena tidak adanya kejelasan batas wilayah suatu negara dengan negara lain sehingga masing-masing negara akan mengklaim wilayah perbatan tertentu.
contoh : Tahun 1976 Indonesia dan Malaysia yang memperebutkan pula sipadan dan ligitan dan diputuskan oleh MI pada tahun 2003 dimenangkan oleh malaysia, perbatasan kasmir yang diperebutkan oleh india dan pakistan.
Peranan M.I. Terhadap Pelanggaran HAM
Mahkamah Internasional (MI) merupakan salah satu badan perlengkapan PBB yang berkedudukan di Denhag (Belanda). MI memiliki 15 orang hakim yang dipilih dari 15 negara dengan masa jabatan 9 tahun. Selain memberikan pertimbangan hukum kepada Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB MI pun bertugas untuk memeriksa dan menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang diserahkan kepadanya. dalam mengadili suatu perkara MI berpedoman pada Traktat-traktat dan kebiasaan -kebiasaan Internasional.
Prosedur Penyelesaian Kasus HAM Internasional
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM oleh mahkamah internasional dapat dilakukan  melalui prosedur berikut :
-    Korban pelanggaran HAM dapat mengadukan kepada komisi tinggi HAM PBB atau melalui lembaga HAM internasional lainnya.
-    pengaduan ditindaklanjuti dengan penyelidikan dan penyidikan.
-    dengan bukti-bukti hasil penyelidikan dan penyidikan proses dilanjutkan pada tahap peradilan, dan jika terbukti maka hakim MI akan menjatuhkan sanksi.

BAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL
A.    Perjanjian Internasional
B.    Kebiasaan Internasional
C.    Prinsip Hukum Umum
D.    Sumber Hukum Tambahan
BAB IV KEJAHATAN INTERNASIONAL
Pengertian Kejahatan
Kejahatan menurut kacamata Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah segala bentuk dan macam tindak pidana yang dirumuskan dalam Buku II. Tindak pidana dalam pengertian ini adalah suatu rumusan perihal perbuatan tertentu yang dilarang (aktif maupun pasif) oleh ketentuan UU yang disertai ancaman pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
    Dengan begitu banyaknya macam dan bentuk kejahatan dalam UU, berarti begitu banyaknya kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana. Walaupun begitu banyak kepentingan hukum yang lindungi, tetapi berbagai kepentingan hukum itu dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan besar kepentingan hukum, yaitu:
1.    Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen)
2.    Kepentingan hukum masyarakat (sociale belangan), dan
3.    Kepentingan hukum negara (staatbelangen).
Kejahatan terhadap keamanan negara (misdrijven tegen veiligheid van de staat) dimuat dalam Bab I Kedua KUHP, mulai pasal 104 sampai dengan pasal 129. Dibentuknya kejahatan ini adalah ditujukan untuk melindungi kepentingan hukum atas keselamatan dan keamanan negara dari perbuatan-perbuatan yang mengancam, menganggu dan merusak kepentingan hukum negara tersebut.
Objek kejahatan dari jenis-jenis kejahatan terhadap keamanan negara ini ada berbagai bidang mengenai kepentingan hukum negara, misalnya kepentingan hukum atas keselamatan dan keamanan Presiden dan Wakilnya, keamanan pemerintahan dalam melaksanakan tugasnya, kepentingan hukum bagi keutuhan wilayah negara, kepentingan hukum atas rahasia negara, kepentingan hukum atas pertahanan dan keamanan negara terhadap serangan dari luar, dan lain sebagainya, yang semua itu tercermin dari rumusan kejahatan dalam pasal-pasal yang bersangkutan.
1.    Pasal 104, mengenai makar dengan maksud membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakilnya memerintah.
2.    Pasal 106, mengenai makar dengan maksud seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian wilayah negara.
3.    Pasal 107, mengenai makar dengan maksud menggulingkan pemerintah yang sah.
4.    Pasal 107 a sampai f, kejahatan mengenai larangan dan yang berhubungan dengan ajaran komunisme/marxisme-Lenisme.
5.    Pasal 108, mengenai pemberontakan.
6.    Pasal 110, mengenai permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan pasal 104, 106, 107, dan 108.
7.    Pasal 111, mengenai mengadakan hubungan dengan negara asing dengan maksud mengggerakkan untuk melakukan perbuatan memusuhi atau perang dengan negara RI, dan lain sebagainya.
8.    Pasal 111 bis, mengenai mengadakan hubungan orang atau badan di luar negeri dengan maksud untuk menggerakkannya supaya membantu mempersiapkan, memperlancar atau menggerakkan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah, dan lain sebagainya.
9.    Pasal 112, mengenai sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita yang diketahuinya harus dirahasiakkan untuk kepentingan negara.
10.    Pasal 113, mengenai sengajar mengumumkan, atau memberitahukan maupun menyerahkan kepada orang yang tidak wenang mengetahui, surat-surat, peta-peta, dan lain sebaginya yang bersufat rahasia yang bersangkutan dengan pertahanan dan keamanan negara.
11.    Pasal 114, mengenai karena ekealpaannya menyebabkan surat-surat atau benda-benda sebagaimana dimaksud dalam pasal 113 yang menjadi tugasnya untuk menyimpannya, diketahui oleh umum atau oleh yang tidak berhak dan lain sebagainya.
12.    Pasal 115, mengenai melihat atau membaca surat-surat atau benda-benda rahasia sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 113, yang diketahuinya bahwa benda-benda itu tidak dimaksudkan untuk diketahui olehnya, dan lain sebagainya.
13.    Pasal 116, mengenai permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 113 dan 115.
14.    Pasal 117, mengenai sengaja memasuki bangunan Angkatan Darat atau Angkatan Laut, atau daerah terlarang dan lain sebagainya.
15.    Pasal 118, mengenai tanpa wenang, sengaja membuat, mengumpulkan dan lain sebagainya gambar potret, gambar lukis dan lain sebagainya mengenai sesuatu hal yang bersangkutan dengan kepentingan militer,
16.    Pasal 119, mengenai memberi tumpangan kepada orang yang diketahuinya mempunyai niat untuk mengetahui benda-benda rahasia seperti tersebbut dalam 113.
17.    Pasal 120, mengenai kejahatan pasal 113, 115, 117, 118, 119 yang dilakukan dengan akal curang.
18.    Pasal 121, mengenai orang yang ditugasi untuk berundingn dengan negara asing, dengan sengaja merugikan negara Indonesia.
19.    Pasal 122, mengenai dalam masa perang yang tidak menyangkut Indonesia, dengan sengaja melakukan perbuatan yang membahayakan kenetralan negara.dst.
A. Latar Belakang Berlakunya Hukum Pidana Internasional
G.J. Starke dan J.L. Brierly berpendapat bahwa masyarakat internasional itu pada hakikatnya adalah masyarakat bangsa-bangsa yang sudah menegara. Adanya prinsip hidup bersama atau hidup berdampingan yang terwujud dalam bentuk : hubungan, kontak, relasi yang bersifat jalin-menjalin dan terus menerus. Adanya sejumlah negara saja, belum berarti atau belum menjamin adanya suatu masyarakat negera-negara tersebut, hidup secara terpisah dan terpencil satu sama lainnya, hal ini berarti bahwa antara bangsa atau negara yang satu dengan yang lainnya, harus ada hubungan, kontak, relasi satu sama lainnya yang bersifat jalin menjalin dan kontinu atau terus menerus. Adanya kepentingan atau tujuan bersama, adanya hubungan dan kontak yang bersifat jalin menjalin dan terus menerus, disebabkan kepentingan atau tujuan bersama, yang ingin dicapai atau dipenuhi masing-masing bangsa atau negara tersebut, Kepentingan dan tujuan bersama ini, hanya dapat tercipa dengan negara-negara lainnya.Kepentingan atau tujuan bersama yang dimaksudkan, sangat komplek dan bevariasi yakni ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan kemanan. Adanya Hukum Pidana Internasional karena adanya masyarakat internasional sebagaimana adanya hukum karena adanya masyarakat. Masyarakat internasional merupakan landasan sosiologis hukum pidana internasional dan sekaligus Hukum Pidana Internasional. Hukum Pidana Internasional pada hakekatnya merupakan suatu sistem hukum yang harus mempunyai substansi hukum berisikan materi-materi tindak pidana-tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan sanksi pidana bagi setiap individu maupun negara yang melakukan tindak pidana yang telah ditetapkan dalam hukum pidana internasional.Untuk menjalankan substansi hukum tersebut, harus didukung dengan struktur hukum dalam menegakkan hukum pidana internasional materiil. Selain itu juga harus didukung oleh budaya hukum yang harus dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan kepatuhan masyarakat internasional terhadap apa yang terkandung dalam substansi hukum pidana internasional.Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, berpengaruh sangat besar terhadap peningkatan kebutuhan sejumoah negara-negara. Keadaan ini tentunya menciptakan saling ketergantungan diantara negara-negara. Dan untuk mengatasi serta mencegah ketergantungan antara negara-negara, meka negara yang satu perlu mengadakan hubungan, kontak pergaulan dengan sesama negara lain di dalam pelbagai kehidupan. Dengan adanya saling membutuhkan diantara negara yang satu dengan yang lainnya mengakibatkan tumbuhnya hubungan yang bersifat tetap, jalin menjalin dan berkesinambungan.Masyarakat internasional selalu dalam keadaan dinamis dan perlu mengadakan perubahan-perubahan. Perubahan pertama dan mendasar adalah perubahan pada peta bumi politik, yang terjadi terutama setelah Perang Dunia ke-II. Hal mana pada saat sebelumnya, masyarakat internasional dibagi dalam beberapa negara besar, berubah menjadi satu masyarakat bangsa-bangsa yang terdiri dari banyak sekali negara.Perkembangan kedua, mempunyai akibat dan pengaruh yang sangat besar bagi pelaku-pelaku tindak pidana yang memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknilogi, sehingga sangat mempengaruhi masyarakat internasional dan Hukum Pidana Internasional. Dengan memanfaatkan kemajuan sarana transportasi, telekomunikasi, sarana kimiawi dan sarana teknologi lainnya dalam rangka menghilangkan jejak, bukti dan lain sebagainya, sehingga pelaku tindak pidana tidak dapat dan sulit dilacak baik oleh hukum pidana nasional maupun Hukum Pidana Internasional.Perkembangan ketiga yaitu perubahan struktur organisasi masyarakat internasional yang didasarkan atas negara-negara yang berdaulat. Dengan timbulnya organisasi-organisasi internasional yang mempunyai eksistensi terlepas dari negara-negara. Dipihak lain, ada perkembangan yang memberikan kompetensi hukum kepada individu-individu dalam hal-hal tertentu. Timbulnya organisasi-organisasi intrnasional dan kompetensi hukum kepada individu menujukkan mulai terlaksananya satu masyarakat internasional di dalam arti yang benar dan efektif didasarkan atas asas kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan derajat antara negara, sehingga terjelma Hukum Internasional, bila terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh negara dan tidak efektifnya Hukum Pidana Nasional, maka sangat diperlukan Hukum Pidana Internasional yang efektif dalam penegakan Hukum Pidana Internsional.Berbicara Hukum Pidana Internasional, juga tidak terlepas dari sebuah sejarah panjang dari tindak pidana yang terjadi sejak era perkembangan masyarakat internasional, tradisional sampai dengan perkembangan era masyarakat modern. Sejarah dimulai sejak Abad 16 Masehi yang merupakan era Kerajaan Romawi dibawah Kaisar Justinianus, dimana dengan kekuatan undang-undang, Justinianus telah memberikan dukungan perdamaian ke seluruh Kerajaan Romawi termasuk jajahanya. Peraturan tentang perang diperjelas dan harus dilandaskan pada sebab yang layak dan benar, diumumkan sesuai dengan aturan kebiasaan yang berlaku dan dilaksanakan dengan cara cara yang benar. Pengaturan tersebut berasal dari pengajaran hukum yang diberikan oleh ahli-ahli hukum seperti Cicero dan St Augustine. Mereka yang melakukan tindakan pelanggaran atas hukum kebiasaan dan hukum Tuhan dari suatu bangsa disebut dan dikenal kemudian sebagai kejahatan internasionalPada era Paska Perang Salib, perkembangan tindak pidana internasional setelah perang salib diawali dengan munculnya tindakan pembajakan di laut, yang dipandang sebagai musuh semua bangsa karena telah merusak hubungan perdagangan antar bangsa yang dianggap sangat penting pada masa itu, namun demikian perang tetap merupakan tindakan yang dipandang tidak layak dan masih dipersoalkan terutama dikalangan para ahli hukum dari berbagai bangsa yang sudah maju pada masa itu.Era Francisco de Vittoria 1480-1546, penjajahan disertai dengan penyebarluasan agama Kristen dengan cara-cara kekerasan dan kekejaman telah berkecamuk terutama yang telah dilakukan oleh Kerajaan Spanyol terhadap penduduk pribumi Indian, pada masa itu munculah seorang professor theologia, Francisco de Vittoria yang memperingatkan kerajaan bahwa ancaman perang dan peperangan tidak dapat dibenakan dengan alasan perbedaan agama, perluasan kerajaan dan kemenangan yang bersifat pribadi sekalipun dengan alasan untuk self defence, maka kerugian atau kekerasan sedapat-dapatnya diperkecil, Pandangan dari Vittoria ini dapat dikatakan sebagai tonggak sejarah bagi perkembangan hukum hukum pidana internasional pada masa yang akan datangPerkembangan pesat tentang masalah perang di dalam sejarah hukum internasional terjadi pada abad 16-18 ketika penulis-penulis terkenal seperti, Alberto Gentili, Francisco Suarez, Samuel dan Emerich de Vattel telah membahas dan mencari dasar-dasar hukum suatu peperangan. Namun seorang tokoh yang terkenal pada masa itu adalah seorang ahli hukum Belanda, Hugo Grotius yang telah menulis dan menerbitkan sebuah treatise “ the Law of War and Peace in The Tree Books” pada tahun 1625Perjanjian Versailes yang mengakhiri Perang Dunia I, ternyata dalam praktek hukum Internasional tedak berhasil melaksanakan ketentuan pasal 227 yang menetapkan antara lain penuntutan dan penjatuhan pidana atas pelaku kejahatan perangPada masa 1920 telah tampak adanya upaya pembentukan mahkamah pidana internasional terutama setelah terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa, upaya ini berasal dari sejumlah ahli hukum terkemuka antara lain Vespasien Pella, Megalos Ciloyanni dan Rafael. Dukungan atas upaya tersebut juga berdatangan dari perkumpulan masyarakat internationalEra tahun 1927 Liga bangsa-bangsa telah membuka era baru dalam sejarah hukum pidana internasional dengan menetapkan bahwa perang agresi atau a war of aggression merupakan internasional crime, bahkan pernyataan LBB tersebut merupakan awal dari penyusunan kodifikasi dalam bidang hukum pidana internasional. Namun demikian pada saat itu pembentukan suatu Mahkamah Internasional yang dapat menetapkan telah terjadinya pelanggaran atas kodifikasi tersebut masih belum secara serius diperbincagkan. Perang Dunia II telah melahirkan berbagai tindak pidana baru yang merupakan pelanggaran atas perjanjian-perjanjian yang telah ditandatangani di antara Negara anggota liga bangsa-bangsa. Pelanggaran pelanggaran tersebut adalah dalam bentuk kekejaman yang tiada taranya serta pelanggaran atas hukum perang yang tiada bandingnya oleh pihak tentara jerman dan sekutunya, kejadian-kejadian itu telah memperkuat kehendak untk mengajukan kembali gagasan pembentukan suatu Mahkamah Pidana Internasional. Profesor Lauterpacht dan Hans Kelsen yang menegaskan bahwa pembentukan mahkamah itu sangat penting untuk mengadili penjahat perang dan sekaligus membawa akibat penting terhadap perbaikan perbaikan di dalam hubungan internasional.Jerman dibawah kepemimpinan Adolf Hitler memulai kancah perang dunia kedua dengan menganeksasi Polandia pada September 1939, tepatnya dikota Danzig litzkrieg, pada Tahun 1940, Hitle rmenaklukkan Denmark, Norwegia, Belanda, Belgia dan Perancis. Tahun tersebut merupakan tahun kemenagan NaziJerman. Dalam waktu yang bersamaan dengan perang dunia kedua, bahkan jauh sebelumnya, Hitle rtelah melakukan genosida terhadap bangsa Yahudi hamper diseluruh daratan Eropa.Genosida yang dilakukan oleh Nazi Jerman selanjutnya dikenal dengan istilah holocaust. Secara harafiah ‘holocaust’ berart ideskripsi genosida yang dilakukan terhadap kelompok-kelompok minoritas diEropa dan Afrika Utara selama perang dunia kedua oleh Nazi JermanPada tahun 1947 masalah pembentukan Mahkamah Pidana Internasional diserahkan kepada Internasioanal law Commision, yang terdiri dari kelompok ahli hukum terkemuka dari seluruh Negara , yang dibentuk oleh PBB dan bertugas menyusun suatu kodifikasi hukum internasional, bertitik tolak dari pengalaman-pengalaman sebagai akibat peperangan, maka masayarakat internasional melalui PBB telah sepakat dan menempatkan kejahatan-kejahatan yang dilakaukan semasa peperangan sebagai kejahatan yang mengancam dan merugikan serta merusak tatanan kehidupan masyarakat internasional, kejahatan-kejahatan itu antara lain agresi, kejahatan perang, pembasmian etnis tertentu, pembajakan laut dll.Resolusi PBB, 21 November 1947, bahwa sampai dengan awal abad ke-20 hukum pidana internasional belum memasyarakat dikalangan pakar-pakar hukum di Negara yang menganut system hukum common law.Pengakuan secara internasional terhadap pentingnya internasional criminal law pertama kali terjadi melalui resolusi yang diajukan oleh Sidang Umum Perserikatan bangsa-bangsa tanggal 21 November 1947, resolusi menghendaki dibentuknya suatu panitia kodifikasi hukum internasional. Era Tokyo Trial 1948 Tanggal 23 Desember 1948, berdasarkan keputusan pengadilan internasional di Tokyo, Jepang, tujuh orang pemimpin negara ini pada era Perang Dunia II, menjalani hukuman mati. Pengadilan di Jepang ini merupakan lanjutan dari pengadilan Nurenberg Jerman yang dilakukan untuk mengadili para penjahat perang. Sebanyak 25 orang pejabat Jepang diadili dan 18 di antaranya dijatuhi hukuman penjara. Hideki Toyo, Perdana Menteri Jepang pada era PD II adalah pejabat tertinggi yang diadili di pengadilan internasional Jepang itu dan dijatuhi hukuman mati.
Pengertian
Kejahatan menurut kacamata Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah segala bentuk dan macam tindak pidana yang dirumuskan dalam Buku II.
B. Bentuk-Bentuk Kejahatan Internasional
1.    Kejahatan Terorisme
2.    Kejahatan Pemberontakan
3.    Kejahatan Genocida (Pembunuhan Massal)
4.    Kejahatan Mengadakan Hubungan dengan Negara Asing, Orang atau Badan Asing untuk Menggulingkan Pemerintah suatu Negara
5.    Kejahatan Membuka Rahasia Negara
6.    Kejahatan Traficking (Perdagangan Manusia)
7.    Kejahatan Penjarahan
8.    Kejahatan Penyandaraan

Kamis, 13 Oktober 2011

Materi Kuliah : Hak atas Kekayaan Intelektual

A. Istilah HaKI (Pasal 66 KUHPerdata)

Hak adalah kewenangan yang diberikan oleh hukum
Kekayaan adalah penguasaan atas benda yang menjadi indikator kesejahteraan
Intelektual adalah hasil olah atak manusia yang berawal dari imajinasi, kreasi dan keterampilan manusia yang menghasilkan karya.

Pengertian
HaKI merupakan hak yang berasal dari hasil kegiatan yang kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspersikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, juga mempunyai nilai ekonomis. Bentuk nyata dari kemampuan karya intelektual tsb bisa bidang teknologi, IP, maupun seni dan sastra (Melantik Marpaung,

B. Keberadaan HAKI di Indonesia
1.     Sejarah Perundang-Undangan HAKI di Indonesia sebelum Kemerdekaan
Hak Kekayaan Intelektual sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia. Sejak zaman Pemerintahan Hindia Belanda, Indonesia telah mempunyai undang-undang tentang hak kekayaan intelektual yang sebenarnya merupakan pemerlakukan peraturan perundang-undangan pemerintahan Hindia Belanda yang berlaku di negeri Belanda, diberlakukan di Indonesia sebagai negara jajahan Belanda berdasarkan prinsip konkordansi.
         Pada masa itu, bidang hak kakayaan intelektual mendapat pengakuan baru 3 (tiga) bidang hak kakayaan intelektual, yaitu bidang Hak Cipta, Merek Dagang dan Industri, serta Paten.
         Adapun peraturan perundang-undangan Belanda bidang Hak Kekayaan Intelektual adalah sebagai berikut.
a.      Auterswet 1912 (Undang-Undang Hak Pengarang 1912, Undang Hak Cipta; S.1912-600).
b.      Reglemen Industriele Eigendom Kolonien 1912 (Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial 1912;S.1912-545 jo. S. 1913-214
c.       Octrooiwet 1910 (Undang-Undang Paten 1910; S.1910-33, yis S.1911-33, S.1922-54.
Undang-Undang Hak Cipta pertama di Belanda diundangkan pada tahun 1803, yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Hak Cipta tahun 1817 dan diperbarui lagi sesuai dengan konvensi Bern 1886 menjadi Auterurswet 1912, (Hindia Belanda saat itu) sebagai negara jajahan Belanda, terikat dalam konvensi Bern tersebut, sebagaimana diumumkan dalam S.1914-797. Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial 1912 merupakan undang-undang merek tertua di Indonesia, yang ditetapkan oleh pemerintah Kerajaan Belanda berlaku sejak tanggal 1 Maret 1913 terhadap wilayah-wilayaj jajahannya Indonesia, Suriname, dan Curacao. Undang-Undang Paten 1910 tersebut mulai berlaku sejak tanggal 1 Juli 1912.
2.     Lingkup berlaku Perundangan-undangan HKI Zaman Belanda berdasarkan 131 Indische Staatstregeling

Pasal 131 IS pada pokoknya mengatur sbb:
a.      Hukum perdata dan hukum dagang (termasuk hukum pidana maupun acara perdata dan pidana) harus diletakkan dalam kitab-kitab undang-undang, yaitu kodifikasi
b.      Untuk golongan bangsa Eropa, dianut (dicontoh) perundang-undangan yang berlaku di negeri Belanda (asas konkordansi).
c.       Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur Asing (Tionghoa, Arab, dan sebagainya), jika ternyata “kebutuhan kemasyarakatan” mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa dinayatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan. Dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru bersama, untuk selainnya harus diindahkan aturan-aturan yang berlaku di kalangan mereka, dan boleh diadakan penyimpangan jika diminta oleh kepentingan umum atau kebutuhan kemasyarakatan mereka (ayat 2).
d.      Orang Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropa, diperbolehkan menundukkan diri (onderwepern) pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa. Penundukan ini boleh dilakukan baik secara umum maupun secara mengenai suatu perbuatan tertentu saja (ayat 4).
e.      Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis dalam undang-undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang bagi mereka, yaitu “hukum adat” (ayat 6).
Pasal 163 IS, golongan Hindia Belanda adalah sbb:
a.      Golongan Eropa, yaitu (a) semua orang goloangan Belanda, (b) semua orang Eropa lainnya, (c) semua orang Jepang, (d) semua orang yang berasal dari tempat lain yang dinegaranya tunduk pada hukum keluarga yang pada pokok berdasarkan asas yang sama seperti hukum benda, dan (e) anak sah atau diakui menurut undang-undang, dan anak yang dimaksud sub b dan c yang lahir di Hindia Belanda.
b.      Golongan Bumiputra, yaitu semua orang yang termasuk rakyat indonesia Asli, yang tidak beralih masuk golongan lain, yang telah membaurkan dirinya dengan golongan lain, dan telah membaurkan dirinya dengan Indonesia Asli.
c.       Golongan Timur Asing, yaitu semua orang yang bukan golongan Eropa dan golongan Bumiputra.
Berdasarkan Pasal 131 jo. 136 IS tersebut dapat diketahui bahwa kodifikasi hukum perdata (burgelijke wetboek) hanya berlaku bagi golongan Eropa dan mereka yang dipermasalahkan. Adapun bagi goloangan Bumiputra dan Timur Asing berlaku hukum ada mereka masing-masing, kecuali sejak tahun 1855 hukum perdata Eropa diberlakukan goloang Timur Asing, selain hukum keluarga dan hukum waris.
Dengan demikian, peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat itu bersiafat pluralistis sesuai dengan goloangan penduduknya, sehingga ada peraturan perundang-udangan Eropa dinyatakan berlaku bagi orang-orang Bumiputra (Indonesia), ada pula peraturan perundang-undangan yang dinyatakan secara khusus dibuat untuk orang-orang Indonesia Asli (Bumiputra). Peraturan perundang-undangan Eropa di bidang Hak Kekayaan Intelektual yang diatur dalam Reglement Industriele Eigendom Kolonien 1912 (Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial 1912; S. 1912-545 jo. S.1913-214), Auterswet 1912 (Undang-Undang Hak Pengarang 1912, Undang-Undang Hak Cipta, S. 1911-33, S.1922-54), merupakan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan berlaku tidak hanya untuk golongan Eropa, melainkan juga berlaku untuk goloangan bukan Eropa.
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa peraturan perundang-undangan Eropa di bidang Hak Kekayaan Intelektual merupakan peraturan perundang-undangan yang bagi semua goloangan penduduk Indonesia.

3.     HKI Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Setelah Indonesia merdeka, berdasaran Pasal 2 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945, maka ketentuan peraturan perundang-undangan Hak kekayaan Intelektual zaman penjajahan Belanda, demi hukum diteruskan keberlakuannya, sampai dengan dicabut dan diganti dengan undang-undang bari hasil produk legislasi Indonesia. Setelah 16 tahun Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1961 barulah Indonesia mempunyai perundang-undangan hak kekayaan intelektual dalam hukum positif pertama kalinya dengan diundangkannya Undang-Undang Merek pada tahun 1961, disusul dengan Undang-Undang Hak Cipta pada 1982, dan Undang-Undang Paten pada tahun 1989.
Undang-undang merek pertama Indonesia lahir pada tahun 1961 dengan diundangkannya Undang-Undang Merek Dagang dan Mereka Perniagaan, pada tanggal 11 Oktober 1961 dan mulai berlaku tanggal 11 November 1961, yang dikenal dengan nomenklatur Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961. Dengan diundangkannya dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961, maka Reglement Industriele Eigendom Kolonien 1912 (Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial 1912; S.1912-545 jo. S.1913-214) tersebut dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Pada tahun 1992 terjadi pembaruan hukum merek di Indonesia, dengan diundangkannya dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 yang mencabut dan menggantikan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961. Selanjutnya pada tahun 1997, terjadi lagi penyempurnaan terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992, dengan diundangkannya dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997. Dan terakhir pada tahun 2001, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tersebut diubah dan disempurnakan serta diganti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001.
Undang-Undang Hak Cipta pertama Indonesia pasca kemerdekaan baru ada pada tahun 1982, dengan diundangkannya dan diberlakukan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982. Kemudian pada tahun 1987, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tersebut diubah dan disempurnakan denga diundangkannya dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987. Selanjutnya pada tahun 1997, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tersebut. Dan terakhir pada tahun 2001, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 jis. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tersebut diubah dan disempurnakan serta diganti dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002.
Undang-undang paten Indonesia pertama baru ada pada tahun 1989 dengan diundangkannya dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989. Kemudian pada tahun 1997, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tersebut diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997. Dan terakhir pada tahun 2001, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tersebut, diubah dan disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001.
Dengan demikian, sejak tahun 1961 s.d. tahun 1999, yang berarti selama 54 tahun sejak Indonesia merdeka, bidak hak kekayaan intelektual yang telah mendapat perlindungan dan pengaturan dalam tata hukum Indonesia baru 3 (tiga) bidang, yaitu merek, hak cipta, dan paten. Adapun 4 (empat) bidang bidak hak kekayaan intelektual lainnya varietas tanaman, rahasia dagang, desain industri, serta desai tata letak sirkuit terpadi, baru mendapat pengaturan dalam hukum Indonesia pada tahun 2000, dengan diundangkkanya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Varietas Tanaman, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tengang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadi, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Industri.

4.     Kondisi HAKI di Indonesia
HAKI sangat penting untuk menggairahkan laju perekonomian dunia yang pada akhirnya membahawa kesejahteraan umat manusia. Meski terus ada upaya pengurangan angka tarif dan kuota secara gradual dalam rangka mempercepat terbentuknya perdagangan bebas, jika produk impor barang dan jasa dibiarkan bebas diduplikasi dan direproduksi secara ilegal, ini merupakan beban berat bagi pelaku perdagangan internasional.
Indonesia dikenal memiliki keragaman hayati yang tinggi, bahkan tergolong pali tinggi di dunia. Bukan itu saja, negeri kita juga mempunyai beragam budaya dan karya tradisional. Namun tanpa disadari, banyak aset dan kekayaan intelektual lokal itu telah terdaftar di luar negeri sebagai milik orang asing. Kurangnya kesadaran akan pentingnya aset karya intelektual ini telah mengakibatkan kerugian yang bagi Indonesia (Kompas dikutip Adrian Sutedi, 2009:6)
Pelanggaran HAKI merupakan pembajakan (piracy), pemalsuan dan konteks hak cipta dan merek dagang (counterfeiting), dan pelanggaran hak paten (infringement) jelas merugikan secara signifikan bagi pelaku ekonomi, terutama akan melukai si pemilik sah dari hak intelektual tersebut. Begitu pun konsumen dan mekanisme pasar yang sehat juga akan terganggu dengan adanya tindak pelanggaran HAKI.
Pelanggaran HAKI yang terjadi antara lain juga karena (saat itu) DPR belum menyelesaikan undang-undang tentang HAKI serta ketidakpahaman aparat hukum dan masyarakat tentang hal tersebut. Hak cipta yang sering dijiplak itu, antara lain karya film, musik, merek, program komputer, dan buku (Kompas dikutip Adrian Sutedi, 2009:6).
 B. Tinjauan Singkat Perjalanan HAKI di Dunia Internasional
Hak atas kekayaan Intelektual atau juga dikenal dengan HAKI merupakan terjemahan atas istilah Intellectual Property Right (IPR). istilah tersebut terdiri dari tiga kata kunci, yaktu Hak, Kekayaan dan Intelektual. Kekayaan merupakan abstraksi yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun dijual. adapun Kekayaan Intelektual merupakan kekayaan atas segala hasil produksi kecerdasan daya pikir seperti teknologi, pengetuan, seni, sastra, gubahan lagu, karya tulis, karikatur, dan seterusnya. terakhir Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) merupakan hak-hak (wewenang/kekuasaan) untuk berbuat sesuatu atau kekayaan intelektual tersebut, yang diatur oleh norma-norma atau hukum-hukum yang berlaku (Adrian Sutedi, 38:2009)
Hak dibagi menjadi dua. Pertama Hak Dasar (Asasi) merupakan hak mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Umpamanya hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan keadilan, dan sebagainya. Kedua, Hak Amanat Aturan/Perundangan, yaitu hak karena diberikan/diatur oleh masyarakat melalui peraturan/perundangan. Di berbagai negara, termasuk Amerika dan Indonesia, HAKI merupakan Hak Amanat Aturan, sehingga masyarakatlah yang menentukan, seberapa besar HAKI yang diberikan kepada individu dan kelompok.
terlihat bahwa HAKI merupakan hak pemberian dari umum (publik) yang dijamin oleh undang-undang. HAKI bukan merupakan hak asasi, sehingga kriteria pemberian HAKI merupakan hal yang dapat diperdebatkan oleh publik. tumbuhnya konsepsi kekayaan atas karya-karya intelektual pada akhirnya juga menimbulkan kebutuhan untuk melindungi atau mempertahankan kekayaan tersebut. pada gilirannya, kebutuhan ini melahirkan konsepsi perlindungan hukum atas kekayaan tadi, termasuk pengakuan hak terhadapnya. sesuai dengan hakikatnya pula, HAKI dikelompokkan sebagai hak milik perorangan yang sifatnya tidak berwujud (intangible).
          Undang-undang mengenai HAKI pertama laki ada di Venice, Italia yang menyangkut masalah paten pada tahun 1470. Caxton, Galileo, dan Gunttenberg tercatat sebagai penemu-penemu muncul dalam kurun waktu tersebut dan mempunyai hak monopoli atas penemuan mereka. hukum-hukum tentang paten tersebut kemudian diadopsi oleh kerajaan Inggris di zaman TUDOR tahun 1500-an dan kemudian lahir hukum mengenai paten pertama di Inggris, yaitu Statute of Monopolies (1623). Amerika Serikat baru mempunyai undang-undang paten tahun 1791. Upaya harmonisasi dalam bidang HAKI pertama kali terjadi tahun 1883 dengan lahirnya Paris Convention untuk masalah paten, merek dagang, dan desain. Kemudian Berne Convention 1886 untuk masalah Hak Cipta (Copyright).
           Kekuatan Nasional suatu negara tergantung juga pada kemajuan dan kemauan menghasilkan hak atas kekayaan intelektual. hal ini telah dibuktikan oleh negara-negara maju sebelum Perang Dunai Kedua. Jerman dan Jepang sebelum Perang Dunia II telah mempersiapkan diri menjadi kuat dengan mengandalkan strategi utama, yaitu penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
           Pengembangan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi diteruskan oleh negara-negara pemenang Perang Dunia II terutama Amerika Serikat, Rusia, dan negara-negara Eropa lainnya, Jepang juga terus mengembangkan teknologinya, meskipun negaranya telah mengalami kekalahan pada Perang Dunia II dan mengalami kehancuran oleh ledakan Bom di Hirosima dan Nagasaki. Berdasarkan pengalaman sejarah, mereka menyadari betul pentingnya hak atas kekayaan intelektual sebagai sumber kekuatan politik berbasis ekonomi (Abdul Kadir Muhammad dikutip Adrian Sutedi, 2009:39) Jepang, dalam kurun waktu relatif telah banyak menghasilkan berbagai penemuan baru sebagai basis pertumbuhan dan pengembangan industri dan perdagangan yang menguasai pasar global, sehingga Jepang dapat bangkit sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia.
            Untuk mewujudkan ubungan perdagangan internasional, negara-negara yang memenangkan perang telah berusaha untuk membentuk Internasional Trade Organization (ITO). Akan tetapi, pembentukan ITO mengalami kegagalan karena Amerika Serikat tidak mendukungnya. Sebagai gantinya dibentuk The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) (H.S. Kartadjoemena dikutip Adrian Sutedi, 2009:40) perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 30 Oktober 1947 oleh 8 (delapan) negaram yaitu Australia, Belgia, Kanada, Prancis, Luxemburg, Belanda, Inggris (United Kingdom), dan Amerika Serikat. Kegalalan pelaksanaan GATT pada tahun 1948 lebih banyak disebabkan oleh penolakan Kongres Amerika Serikat, khususnya yang berhubungan dengan masalah proteksionisme.(Bussiness dikutip Adrian Sutedi, 2009:40)
           GATT adalah bagian dari organisasi Perseriktan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertujuan untuk melindungi keseimbangan kepentingan antarnegara-negara anggota PBB dalam hubungan perdagangan internasional. Pada saat itu GATT berfungsi sebagai alat stabilitasi nasional mengenai tarif bea masuk dan sebagai forum konsultasi perdagangan internasional.
           Dalam Perkembangannya, negara-negara anggota GATT mengadakan perundingan Putran Uruguay di Jenewa dengan menerima kesepakatan naskah Final Act Uruguay Round pada tanggal 15 Desember 1993, sebagai hasil konkret perundingan Putaran Uruguay yang dimulai pada tahun 1986 dengan Deklarasi Punta Del Este. Final Act Uruguay Round secara resmi ditandatangani di Marakesh, Maroko oleh 125 negara, termasuk di dalamnya Indonesia. Perundingan tersebut menghasilkan perjanjian untuk membentuk World Trade Organization, yang merupakan lembaga penerus GATT, perjanjian perdagangan barang, perjanjian perdagangan jasa-jasa, serta perjanjian Hak atas Kekayaan Intelektual.
          Dengan adanya subtansi perjanjian TRIPs dalam GATT maka Indonesia harus konsekuen terhadap hasil perjanjian perdagangan internasional GATT dengan melakukan berbagai kebijakan hukum di bidang Hak atas Kekayaan Intelektual. Selain itu penerapan perlindungan terhadap pemilik Hak atas Kekayaan Intelektual harus benar-benar memberikan jaminan atas tindakan pembajakan, pencurian, pembocoran, pengungkapan, dan tindakan curang lainnya.
         Intelektual capital dapat bergerak dan bersirkulasi dengan tingkat kekerapan sangat tinggi dalam arus perputaran moral dunia, khususnya di negara-negara maju. Ketika kemajuan teknologi begitu pesat dan pasar terus bertransformasi dalam tataran global dalam bentuk transnational, diperlukan perangkat hukum untuk meningkatkan dan melindungi kepentingan investasi industri, budaya dan pasar. dari sanalah, pada pertengahan tahun 1980-an, negara-negara yang tergabung dalam GATT/WTO bersepakat tentang aturan main IPR atau HAKI. Lebih-lebih dalam tahun 2002, Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya yang menjadi anggota AFTA, dituntut untuk mempersiapkan perangkat-perangkat aturannya, antara lain tentang masalah peraturan HAKI dan implementasinya.